Minggu, 11 Maret 2018

Takdir Terbaik (Episode 1)

DI SUDUT SEBUAH RUKO

Padang sedang berangkat menghampiri malam. Pelan-pelan cahaya jingga meredup diujung langit. Membawa gelap ke seluruh penjuru ibukota. Cahaya yang menggantung selama dua belas jam mulai digantikan lampu jalanan yang hidup satu persatu. Di salah satu sudut ruko yang mulai gelap tampak seorang lelaki remaja yang berkali-kali mengeluarkan bongkahan asap dari mulut yang sengaja dimonyongkan agar asap yang terkepul tampak menarik. Tergeletak beberapa puntung rokok di samping kiri tempat ia tengah bersandar, entah sudah berapa jam dia duduk disana.

Cahaya dari lampu mobil yang berkali-kali lalu lalang menegaskan bahwa dia bukanlah seorang anak jalanan. Wajahnya bersih hanya ada sedikit kumal dan itu tidak terlalu mencolok. Potongan rambutnya rapi dibelah kiri, seperti dipakaikan minyak rambut sebelum keluar rumah. Jaket denim yang membungkus tubuhnya jauh dari kata lusuh. Jam tangan trendy yang sedang dipakai semakin memperkuat dugaan bahwa dia memang bukan anak jalanan.

Istiqomah

Mata memiliki jangkauan tanpa batas. Mentransfer apa saja yang terlihat secara konkret kedalam ingatan untuk direkam, tanpa peduli jiwa yang tengah dihinggapi mau menerima atau tidak. Banyak kisah yang disuguhkan oleh kehidupan, tidak sedikit yang berurai air mata namun juga tidak jarang berhambur tawa. Olehnya, beragama akibat yang ditimbulkan oleh siempunya ingatan.

Panggung kehidupan menjadi layar tontonan terbesar sepanjang sejarah. Menampilkan segala yang tidak ditemui bahkan dialam mimpi. Yang bijak mampu menanggapi segala yang terlihat dengan baik. Namun yang ceroboh justru makin tenggelam dengan naluri sesat yang diciptakannya sendiri.

Senin, 05 Maret 2018

Sahabatku Malang

Masih setengah sadar saat kubuka mata ketika mendengar suara berisik dari ruang depan. Kulirik jam di dinding, meski remang-remang tapi terlihat jelas, masih pukul 2 pagi. Waktu dimana tidur sedang lelap-lelapnya.

“Ah mengganggu tidurku saja,” keluhku dalam hati

Penasaran berhasil membuatku bangkit dari tempat tidur. Dengan sisa kantuk yang masih memberati, kupaksa juga berjalan menuju sumber suara. Dari arah pukul sembilan terlihat Mbo Idu berlari tergopoh-gopoh. Bahkan nyaris menabrakku yang berdiri tepat di samping meja makan. Jantungku mulai berirama tidak beraturan. Jika Mbo Idu berhasil menabrakku dengan kecepatan kaki yang ditengah dikayuhnya, bisa-bisa aku bisa geger otak akibat terhempas keras ke lantai. Untung saja mata Mbok Idu masih jeli walau masih sepagi ini.

Sabtu, 03 Maret 2018

Kolaborasi Waktu, Jarak dan Takdir


Jarak seperti bersemangat memisahkan kita. Berkali-kali merampas tega kebersamaan yang sejak dulu dibina apik. Sungguh tidak sopan, membawa pergi seseorang tanpa izin. Tiga perempat windu bukan ukuran yang sebentar membuatmu lama menetap direlung hati. Aku sempat tidak mengizinkanmu masuk, hanya membiarkan di pintu terluar hati. Ada ketakutan yang membayangi jika kuizinkan kau masuk terlalu jauh ke dasar hati. Namun waktu merubah kondisi itu, ia mengarahkanmu masuk bahkan tanpa kubuka pintu. Ada kuasa yang aku tak bisa berkuasa atasnya. Itu dulu. Dulu sekali. Sebelum ada jeda yang membayangi hari-hari setelahnya.

Resensi Rembulan Tenggelam di Wajahmu


Bayangkan saat ini ada satu malaikat bersayap datang pada kita kemudian memberi lima kesempatan untuk bertanya tentang teka-teki yang selama ini kita tak pernah tau jawabannya. Kira-kira pertanyaan seperti apa yang akan kita tanyakan? Terlalu berandai-andai memang :D. Ray (tokoh utama dalam novel ini) mendapatkan kesempatan itu. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dibenaknya. Lima pertanyaan yang akhirnya dia mengerti makna hidup dan kehidupannya.

Senin, 26 Februari 2018

Rindu ayah

Garis wajahmu melukiskan lelah
Menapaki dunia yang tanpa arah
Menjawab hari berpeluh darah
Tanpa keluh juga kesah

Kau adalah bukti keagungan Tuhan
Di sosok yang sepuh dimakan zaman
Bertahun-tahun menanggung beban
Siap siaga kapan pun dibutuhkan
Tanpa peduli citamu terkorbankan

Ayah, terima kasih atas segala cinta
Tiada hari tanpa taburan bunga
Dari sikapmu yang senantiasa menjaga
Ayah,maafkan anakmu yang banyak dosa
Membuatmu sedih juga kecewa
Berkali-kali pula terluka

Ada rindu yang subur bertumbuh
Semenjak matamu tak lagi bisa ditatap
Selaksa do’a yang lirih bergema
Semoga Allah sampaikan teruntukmu disana
DijagaNya sampai pada waktu
Dunia ini tidak lagi berarti
Lalu syurga menjadi satu-satunya tempat
Untukmu juga kita sekeluarga

Semoga 

Luka

Dentang jam semakin beringas
Bertalu-talu tanpa peduli
Ada hati yang lelah
Diperdaya waktu
Namun enggan untuk beranjak

Aku adalah saksi
Keberingasan masa lalu
Luka, tercampak
Bukan lagi hal baru
Seperti barang rongsokan
Yang diobral cukup
Dengan beberapa rupiah

Di ujung kesunyian malam
Aku tersadar
Kini korban itu nyata
Ditubuh yang kuhinggapi
Masih terawat sebagaimana awal
Jika saja berbentuk
Akan tampak bernanah

Apa guna merawat luka
Membuatnya menganga lalu berkuasa
Tidak ada maksud merawat luka
Terkadang kita lupa
Ada hati yang tidak baik-baik saja
Saat yang lain berkata
“ah, itu biasa”
Maaf... anda bukan saya