Selasa, 28 Februari 2017

Dia

Dia, yang membuat hari-hariku belakangan ini mulai dibebani banyak pikiran. Aku memang tak terlalu jauh mengenalnya, bertemu cuma sekali seminggu itupun kalau aku sedang tak berhalangan. Memikirkannya juga kerap kulakukan sebelumnya, namun sekarang entisitasnya kurasa mulai sedikit berlebihan. Tepatnya pasca kejadian sabtu lalu, aku jadi banyak menerka beragam hal. Tak seharusnya memang, namun ini diluar kuasaku meski ku tepis berkali-kali pikiran itu tetap muncul kembali.

Dia, ditiap pertemuan yang tak sempat kutanyai banyak hal meski ku ingin. Selalu tampil apa adanya dan tak sekalipun mangkir dari janji pertemuan kita. Sikapnya yang begitu jauh dari prediksiku agaknya membuat dia menjadi sedikit prioritas bagiku. Dia, memang pantas untuk dipikirkan lebih tepatnya di doakan.

Ibunya, yang ku tau bercadar itu sedang hamil muda menyisakan dia yang mau atau tidak harus membantu ibunya mengurus adik-adik kecilnya bahkan membawanya ke pertemuan kita. Aku tak mengapa, toh kehadiran adiknya juga tak mengganggu sesiapa. Namun, saat dia menghampiri sesaat ku akan pulang sabtu lalu sambil berkata "kak, ada punya uang 10 ribu?" Ku tanya balik, "untuk apa uangnya?". "Buat beli telur kak", jawabnya. Dalam hati ku pikir, dia mau merayakan ulang tahun temannya. Maklum kondisi itu masih berlaku dikalangan anak-anak bahkan sedewasaku ini. "Telurnya buat apa?", kutanya dulu memastikan perkiraanku. "Buat dimasak kak, adik-adik Felsi sedari pagi belum makan". Kutahan diri untuk bertanya lebih. Ayahnya yang katanya melaut itu belum pulang. Entahlah berapa hari, aku tak sanggup menanyai banyak hal lagi. Segera ku rogoh saku, dan alhamdulillah ada uang yang terselip yang biasanya kadang aku tak bawa. Berikutnya ku tawari mengantarkannya pulang, walau dia awalnya enggan dengan alasan rumahnya nggak jauh. Dengan bujukan berikutnya akhirnya dia luluh juga. Sejak itu, ada yang berbeda dengan rasaku. Bagaimana mengatakannya, aku juga tak paham pun dengan apa yang ku rasa.

Dia, selalu terlihat kuat meski tak makan sedari pagi. Selalu bersemangat di tiap pertemuan itu walau jajanan temannya terasa menyiksa baginya. Ingin seperti mereka tapi apa daya, sepeser pun tak ada uang jajannya. Entahlah sebelum tau tentang semua ini, dia memang telah istimewa bagiku.

Dia, Felsiku