Senin, 26 Februari 2018

Rindu ayah

Garis wajahmu melukiskan lelah
Menapaki dunia yang tanpa arah
Menjawab hari berpeluh darah
Tanpa keluh juga kesah

Kau adalah bukti keagungan Tuhan
Di sosok yang sepuh dimakan zaman
Bertahun-tahun menanggung beban
Siap siaga kapan pun dibutuhkan
Tanpa peduli citamu terkorbankan

Ayah, terima kasih atas segala cinta
Tiada hari tanpa taburan bunga
Dari sikapmu yang senantiasa menjaga
Ayah,maafkan anakmu yang banyak dosa
Membuatmu sedih juga kecewa
Berkali-kali pula terluka

Ada rindu yang subur bertumbuh
Semenjak matamu tak lagi bisa ditatap
Selaksa do’a yang lirih bergema
Semoga Allah sampaikan teruntukmu disana
DijagaNya sampai pada waktu
Dunia ini tidak lagi berarti
Lalu syurga menjadi satu-satunya tempat
Untukmu juga kita sekeluarga

Semoga 

Luka

Dentang jam semakin beringas
Bertalu-talu tanpa peduli
Ada hati yang lelah
Diperdaya waktu
Namun enggan untuk beranjak

Aku adalah saksi
Keberingasan masa lalu
Luka, tercampak
Bukan lagi hal baru
Seperti barang rongsokan
Yang diobral cukup
Dengan beberapa rupiah

Di ujung kesunyian malam
Aku tersadar
Kini korban itu nyata
Ditubuh yang kuhinggapi
Masih terawat sebagaimana awal
Jika saja berbentuk
Akan tampak bernanah

Apa guna merawat luka
Membuatnya menganga lalu berkuasa
Tidak ada maksud merawat luka
Terkadang kita lupa
Ada hati yang tidak baik-baik saja
Saat yang lain berkata
“ah, itu biasa”
Maaf... anda bukan saya

Jumat, 23 Februari 2018

Menit Menjelang Tidur

Pukul 23.12
Sebenarnya saya tidak tahu hendak menulis apa, namun demi komitmen yang dipancangkan diawal setidaknya saya akan menulis apa yang terlintas saja saat ini.  Malam sudah larut, tidak terdengar lagi hiruk pikuk dunia yang sibuk seharian. Hening. Mencekam. Satu dua masih ada sisa kendaraan yang lewat di depan rumah. Entah lupa sekarang jam berapa atau mungkin memang ada keperluan semalam ini. Ah biarlah, apa urusan saya dengannya.

Pikiran ini harus diajak berputar agar tetap ada yang bisa ditulis. Lalu ngestag diBW (Blog Walking), aktivitas lain yang dilakukan di ODOP (One Day One Page). Jalan-jalan di blog tetangga seperti memberi cambukan tepat di ulu hati. Ada banyak tulisan yang mendadak dan tidak dipersiapkan namun tidak alfa dari nilai yang bisa diambil darinya. Sementara saya, berkali-kali nulis gaje namun juga tidak ada nilai yang bisa diaplikasikan dari sana. Menyedihkan.

23.25
Mata ini mulai terasa lelah, berkali-kali membujuk agar tubuh ini direbahkan saja. Dan saya sepertinya sudah berlaku zholim terhadap anggota tubuh belakangan ini. Seperti kata Ust Adi Hidayat dalam salah satu tausyiyahnya, “Zholim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, misal gelas yang biasa dipakai untuk minum lalu anda untuk mencuci tangan, maka itu zholim”. Mudah-mudahan definisi itu tidak berlaku bagi yang sedang mengejar deadline harian untuk sebuah pembiasaan baik.

23.34
Akhirnya jalanan sempurna sunyi dari suara-suara yang membuat telinga terus bekerja. Dentang jam di dinding dengan pongahnya menguasai keadaan. Lantunan detik demi detiknya seperti memberi tahu bahwa ia lah yang terus hidup tanpa lelah. Kejadian demi kejadian siang tadi akhirnya melintas saat kantuk mulai menguat. Hari ini terlalu melelahkan, banyak waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan. Katanya demi loyalitas. Tapi yang dirasa entahlah. Nurani sedikit berontak dengan itu. Pekerjaan adalah ibadah bukan? Tapi jika ia menuntut bahkan lebih dari separuh waktumu, lalu bagaimanakah waktu dengan Rabbmu? “Jangan terlalu sibuk dengan duniamu, hingga lupa buat kamu diciptakan.” Kata-kata terus terngiang menjadi penghantar tidur kali ini.

23.48
Sebait doa sebelum meta terpejam. Semoga Allah gerakkan hati kita agar terbangun di sepertiga malamnya. Merasakan nikmat yang tidak setiap orang bisa merasakannya. Seperti yang Allah katakan dalam QS Muzammil ayat 2, “Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” Hanya orang-orang pilihan, berharap kita salah satunya.


https://harumn01.files.wordpress.com/2012/10/evaluasi-diri.jpg?w=301&h=181

Kamis, 22 Februari 2018

Tulisan Gaje

Hujan semalam menyisakan sendu yang cukup berarti pagi ini. Aku akhirnya punya hutang tulisan akibat pikiran yang tidak bisa diajak kerja sama. Kulihat di grup, sepertinya hanya aku yang belum setor tulisan untuk hari itu. Lagi-lagi galau menghadapi kenyataan pahit bercampur sedih itu. Ditengah kemelut yang tak burujung, kuputuskan untuk membaca buku yang belakangan ini cukup digandrungi kawula muda. Dengan tujuan agar ada ide yang sudi mampir ke kediamanku. Cukup lama ku terpaku dengan bacaan itu sampai akhirnya tersadar bahwa belum ada sesuatu yang singgah ke benakku. Ah, ini adalah bagian yang menyebalkan selain si Weni (teman kamar sebelah) yang suka motong antrian mandi

Selasa, 20 Februari 2018

Move On

Untuk masa-masa yang telah lalu, ada banyak kenangan yang datang bertalu-talu. Menjelma dalam sebait kata bernama rindu. Walau berat tapi katamu aku akan mampu. Terbersit hasrat untuk bertemu walau dipisah jarak dan waktu.

Untuk masa-masa yang telah terlewati, ada keinginan untuk mengulang kembali apa yang dulu pernah dijejaki. Enggan beranjak dari kenyamanan hati yang walau pernah disakiti tapi tidak ada hasrat untuk membenci. Islam itu murni, begitu yang kupahami. Sayang, waktu tidak pernah menunggu barang sehari. Ia terus merangkak maju dan pada akhirnya memisahkan insan-insan yang saling melengkapi.

Senin, 19 Februari 2018

Teman Dunia Maya itu Nyata

Salah satu keuntungan bergabung dalam suatu komunitas adalah kenal dengan teman-teman dari berbagai belahan pulau. Meski tidak bertemu secara fisik, kita seperti sudah saling mengenal. Tentang kebiasaan, hobi dan berbagai aktivitasnya. Dan kabar baik berikutnya adalah kalian bisa saling tatap muka bahkan bukan tidak mungkin salah satu dari mereka akan menjadi separuh hidup kalian kelak.

Saya pertama kali mendapati kabar baik itu pada Jumat lalu, salah seorang teman dalam komunitas Indonesia Membaca berkunjung ke negeri yang dikenal dengan Seribu Rumah Gadang yaitu Sumatera Barat. Namanya Mba V, begitu kami sering memanggilnya. Dia adalah anak Jakarta yang dikenal suka membaca dan juga nonton. Awal perkenalan kami adalah karena sama-sama tergabung dikomunitas itu. Lalu berlanjut ke pertemanan diberbagai media sosial. Sepanjang pengetahuan saya V ini anaknya asyik, luwes dan bisa bergaul dengan siapa saja. Kekinian banget lah.

Curhatan Penulis Amatir


Memasuki pekan keempat bergabung diODOP (One Day One Post) sebetulnya saya mulai tidak percaya diri. Banyak tulisan yang hanya asal-asalan demi terpenuhinya tugas hari itu. Berat, sungguh. Sempat berfikir untuk menyerah, namun batin lagi-lagi menguatkan diri untuk bagaimana bertahan hingga akhir. Konsekuensi dari itu semua adalah, saya harus mengorbankan sedikit waktu istirahat agar dapat merampungkan sebuah tulisan. Jika itu bisa disebut tulisan.

Ada beberapa hal yang sebenarnya menjadi kendala kenapa tulisan saya sering ngestag di tengah jalan. Dan ini pernah diulas disalah satu grup kepenulisan juga, dimentori oleh seorang penulis kece, Jee Luvina. Saya hanya mangut-mangut untuk kemudian masih menemui kendala itu sampai hari ini.

Minggu, 18 Februari 2018

Tentang Cuaca

Kenalin nama gue Cuaca. Lahir di bulan januari disaat gelap buta. Emak gue akhirnya bangga saat gue lahir punya dua mata. Gue anak ketiga dari satu bersaudara. Eh? Ya, iyain aja. Si Emak gak suka kalo omongannya gak ada yang bela. Termasuk bapak, yang akhirnya kepaksa urut dada saat emak maksa bahwa gue harus dikasih nama Cuaca. Kata Mak sih biar gue dibesarin seperti cuaca biar keren gitu katanya. Ah entahlah, berdebat dengan emak gak akan ada habisnya.

Dua hari lalu gue genap berusia 14 belas tahun dan tadi baru balik dari kantin. Lo bisa nebak gak jenis kelamin gue apa? Coba dulu Mak ngasih nama gue Udara. Biar lo gak bingung gitu nebak–nebak jenis kelamin gue. Gue tinggal di daerah Kemayoran Lama. Disebuah rumah yang dulunya adalah sepetak sawah yang ditimbun. Terdiri dari 3 kamar tidur, 2 kamar mandi dan tidak disewakan.

Sabtu, 17 Februari 2018

Untitle

Pada sebuah jarak yang membentang antara kau dan aku, ada sebuah rasa yang tak bisa kujelaskan secara gamblang. Kau begitu menikmati dunia barumu. Prasangkaku begitu. Walau tak banyak bukti yang bisa kuhadirkan tapi dengan sengaja tidak menghubungiku adalah salah satu yang memperkuat asumsiku. Rindu, ah bukan, sendu. Kenapa jarak begitu tega merampas kau begitu saja.

Setelah kepergianmu aku tidak bisa menemukan seperti yang kutemui pada dirimu. Separuh hidupku kau bawa pergi tanpa permisi. Nampaknya aku egois jika bilang begini, tapi aslinya tidak. Kau banyak membawa pengaruh yang positif padaku semenjak kedatanganmu dihidupku. Aku yakinkan diri bisa bergerak tanpamu disini, menjalani apa yang semestinya kujalani. Harus kuakui, aku masih jauh dari kata kuat.

Jumat, 16 Februari 2018

Pagi Enam Belas Februari

Pada suatu pagi di enam belas februari
Belum ada suara dari penduduk bumi
Sunyi

Aku gelisah
Mondar-mondir tanpa arah
Entah karena amanah
Atau memang pundak yang lelah

Kamis, 15 Februari 2018

Sebuah Kisah (3)


Aku tau dia tidak sedang berpura-pura. Perasaannya nyata begitu adanya. Dia menghela nafas, kemudian melanjutkan kata-kata yang sepertinya sudah disiapkan untukku.

“Mas ingin aku bahagia, kan. Hanya satu cara, tolong ikuti mauku, Mas?” Katanya ringkas masih dengan air mata berlinang.

“Dek, jangan kekanak-kanakan. Jika kita saling mencintai, lantas kenapa ada kata cerai? Sejak ikrar menghalalkanmu dihadapan ayah dan pak penghulu Mas ucapkan, ada amanah besar setelahnya yang mesti kujaga, yaitu kamu. Tolong jangan sembunyikan apapun dariku dek, apa masalahmu tolong jelaskan padaku?” Aku beranjak menuju matanya menatap.

Air matanya mengalir memenuhi pipi tirusnya. Belakangan terlihat dia makin kurus, katanya diet dari makan ini itu. Kucoba tepis dengan tanganku, lagi-lagi dia mengelak.

Rabu, 14 Februari 2018

Kemana Nurani?


Masih segar diingatan tentang kejadian 6 tahun yang lalu. Cuaca malam itu cerah, tidak ada mendung yang akan membawa hujan mampir ke bumi. Pukul 19.00, belum terlalu malam. Namun karena ada rapat yang mesti dihadiri, maka laju motor sedikit lebih cepat dari biasanya. Takdir Allah membuatku belajar banyak dari kecelakaan yang terjadi setelahnya. Motorku menyenggol trotoar karena katidakfokusanku mengendarai motor. Aku terpelanting cukup jauh. Tubuh ini berguling berkali-kali sampai akhirnya sebuah pohon besar membuat tubuhku berhenti berguling.

Lalu lintas sibuk dan padat. Apalagi tepat di jantung kota. Orang-orang berpacu agar segera cepat sampai ke rumah. Lelah seharian bekerja sepertinya bisa membuat orang abai dengan kondisi sekitarnya.

Dengan kondisi setengah sadar, kulihat simerah berada tepat ditengah jalan. Ramai kendaraan yang lalu lalang, tapi motor yang tergelatak -dengan kondisi setengah hancur- itu hanya dilewati begitu saja. Air mataku sempat menetas, bukan karena kecelakaan tunggal itu tapi miskinnya nurani penduduk kota. Beberapa waktu berlalu, untuk sekedar duduk pun tubuhku belum bisa diajak kerjasama. Terlihat robek dibeberapa bagian rokku. Untungnya kebiasaan memakai celana membawa dampak baik kali ini. Auratku terjaga. Tapi belum tampak seorang pun berlari kearahku. Jujur aku begitu butuh pertolongan kala itu.

Senin, 12 Februari 2018

Uni Q

Don't judge book by it's cover. Kalimat ini tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita, tapi sialnya buat saya, untuk mempraktekkannya tidak semudah seperti apa yang dikatakan. Dia yang kupanggil uni berhasil membuat teori itu mampu kucerna setelahnya.

Uni, aku belum mengenalnya terlalu lama juga belum pernah terlibat dalam percakapan secara langsung dengannya. Sepintas lalu jika berinteraksi dengannya akan terlihat wibawa yang sangat mencolok dari pribadinya. Cara berjalan juga gaya bicaranya menyiratkan dia memang orang yang tegas. Bagiku tegas tidak beda jauh dengan sangar, dulunya. Jujur saja, jika uni lewat di jalan yang akan kulewati seketika aku akan putar arah mencari jalan lain. Berpapasan dengannya adalah hal kedua yang kutakuti setelah melihat polisi yang sedang razia.

Minggu, 11 Februari 2018

Cewek Kampungan

Hari minggu adalah hari yang membahagiakan bagi kami yang digelari sebagai pejuang rupiah. Bukan hanya tentang tidak adanya deadline yang mesti dikerjakan, tapi juga hari dimana kami bisa berkumpul dengan keluarga setelah dipisahkan selama beberapa dekade (baca:hari) karena kesibukan masing-masing.

Aku termasuk anggota kontrakan yang paling sering pulang kampung. Selain akhir pekan aku paling nggak bisa nengok tanggal merah, bawaannya jadi pengen pulang. Jadinya teman-teman suka resek panggil aku cewek kampungan, walau benar begitu sih. 

Sabtu, 10 Februari 2018

Sebuah Kisah (2)

Dia balas menatap mataku yang sejak tadi memandanginya. Belum ada jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan. Entah apa maksud dari tatapan matanya. Tidak ada gerakan anggota tubuh yang lain. Hanya pandangan itu yang lurus menatapku tanpa kedipan.

“Kamu kenapa, Dek?”. Akhirnya suaraku normal kembali setelah berkecamuk dengan batin sejak mendengar penuturannya pertama kali.

“Aku ingin kamu bahagia, Mas”. Jawabnya singkat. Matanya mulai tampak kemerah-merahan seperti menahan tangis agar tidak luruh membasuh wajah cantiknya. Nyanyian yang tengah mengalun tidak lagi terasa enak didengar. Aku semakin bingung. Kurang bahagia apa aku selama ini. Dia bahkan teramat tahu bahwa aku begitu mencintainya.

Jumat, 09 Februari 2018

Resensi Jenderal Kambing

Judul Buku : Jenderal Kambing
Tebal : 209 hal
Penerbit : Exchange Publishing Your Idea
Peresume : Paramudika H

Namanya Ibrahim. Ia lahir tanpa disaksikan sang ayah yang sedang bertugas jauh. Seolah melengkapi penderitaannya, beberapa saat setelah lahir, ibunya menghembuskan nafas yang terakhir. Ayahnya baru pulang ketika usianya menginjak enam bulan. Sedari kecil ia hidup pas-pasan. Sepulang sekolah, ia menggembala kambing untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikannya. (Blurb)

Kamis, 08 Februari 2018

Resensi Sabtu Bersama Bapak

Judul : Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 278 halaman

Bayangkan perpaduan sebuah buku parenting di mix kan dengan buku humor-galau-jomblo maka jadilah buku renyah tipis yang satu ini. “Sabtu bersama Bapak”. Awalnya iseng aja pengen liat-liat buku ini, tertarik saat melirik kumpulan buku di lemari teman kamar sebelah. Sampai pada akhirnya gak sabaran untuk ikut bertualang bersama lantunan kalimat demi kalimat yang lumayan mengocok perut. Adhitya Mulya, begitu lihai mengemas tiap kekatanya dalam novel ini, meski kita sedang berada di “bab” parenting sama sekali tak akan terasa membosankan dan kaku.

Rabu, 07 Februari 2018

Terima Kasihku (ODOP)

Memasuki pekan ketiga saya bergabung di ODOP rasanya mulai gregetan, lebih dari setengah anggota grup kami sudah di depak dari lingkaran karena tugas yang tidak dituntaskan. Sejujurnya sampai pada hari ini saya mulai ngos-ngosan ngejar target nulis tiap hari. Lima hari pertama masih bisa nyuri waktu disela-sela pekerjaan, hari berikutnya tidak lagi. Kerjaan makin minta perhatian, sorenya ada tugas tambahan yang jauh hari sudah disepakati, malam pun ada amanah yang mesti ditunaikan. Subhanallah, belum lagi ide yang entah kemana bersembunyi, mencarinya bahkan sampai menyedot waktu istirahatku. Ah, ini sama sekali bukan sebentuk keluhan. Hanya ingin ngasih tau aja, bahwa sampai hari ini saya belum pernah palang. Yeyyy :D (sombong)

Sungguh sebuah keharuan yang mengharu biru, saya bisa bergabung dengan orang-orang yang super kece di grup ini. Big thanks and big hug for my sister Isnaina Anisa, yang telah menggiring saya pada tempat yang sungguh diluar dugaan. Jika dibandingkan dengan kelas menulis yang saya ikuti sebelumnya, materi cuma sekali per pekan dan itu hanya dalam sebulan, berbayar pula. Jika ingin lanjut, kita mesti bayar lagi dan itu duitnya tidak sedikit, cuy. Sedangkan disini, ilmunya nyaris tiap hari, dibimbing oleh pemateri-pemateri yang untuk berbagi ilmu mereka tidak dipatok waktu. Pematerinya sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Dan satu lagi, sepeserpun tidak dipungut biaya. Kece gak tuh. Ditambah lagi para admin yang super ramah, dan selalu menuntun saat kita hilang arah (Maps, kali) haha. Rasanya hanya orang-orang yang tidak ingin berkembang saja yang tidak mau bergabung digrup ini (mentang-mentang yang nulis gabung, sombong lagi) haha. Maap maap.

Gak tau mau ngomong apa sih sebenarnya, yang jelas bergabung di grup ODOP ini adalah salah satu kesyukuran yang mesti saya jaga. Jika mengingat lelah mereka yang bersipayah menjaga grup ini tetap eksis sampai saat ini, saya suka malu sendiri jika dalam satu hari tidak mampu menulis. Meskipun receh ya tetap nulis.

Salah satu motivasi terbesar saya bisa nulis adalah ingin menumpahkan rasa dalam bentuk lain, bukan curhatan yang berisi galau-galau nggak jelas (sesekali masih, sih :D). Dengan kata lain ingin berbagi dalam kebaikan (jika itu dianggap baik). Kok jadi ngenes gitu ya -_-

Ya udahlah apapun itu, sejatinya saya pengen konsisten menulis dan langkah pastiku adalah berkomitmen menjalankan apa yang menjadi kewajiban selama mengikuti program ini. Walau kadang berat, satu hal yang kucatat pasti, untuk kebaikan memang harus dipaksakan.

Selasa, 06 Februari 2018

Bapak Tukang Ojek

Siang itu lagi terik-teriknya saat terdengar bunyi klakson dari luar. Ku intip dari jendela, ah ternyata Pak Anwar sudah datang. Sengaja kutelfon beliau beberapa saat sebelumnya karena jujur ada sedikit kekhawatiran jika pesan gojek. Yang pertama, takut nanti si abangnya masih muda, aku belum siap boncengan sama dia.. haha (apa sih). Yang kedua, kasihan tukang ojek di sekitar sini yang rata-rata sudah tua dan bukan supir gojek (tau aja lah mana ngerti bapak-bapak ini sama aplikasi-aplikasi begituan).

Sebenarnya aku jarang banget pake ojek maupun angkutan umum kemana-mana. Soalnya ada simerah yang selalu setia menemani kemana niat menuntunku pergi. Ini berhubung simerah lagi sakit dan harus dirawat inap di sentral Yamaha, jadi ya kalau pergi kemana-mana harus ada yang jemput dan antar.

Aku heran ...

Aku heran
pada mereka yang gigih berjuang
banting tulang demi uang
pergi pagi pulang petang
kadang-kadang malam pun begadang
katanya untuk mengejar deadline yang menghadang

Aku heran
pada mereka yang sibuk setiap hari
24 jam seperti sudah punya porsinya sendiri
berjalan dan berlari mengitari hari
dari ayam berkokok sampai terbenam matahari

Minggu, 04 Februari 2018

Masih Ada Harapan

“Assalamualaikum, ini dengan Bundanya Isra?”

“Wa’alaikumussalam, iya saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ini dari wali kelasnya Isra, Bu. Kami meminta Ibu untuk datang ke sekolah, besok pagi jam 10.00. Terima Kasih, Ibu. Assalamualaikum”

“Insya Allah, Bu. Wa’alaikumussalam”. Bu Aina menghela nafas panjang disusul bunyi sambungan telepon diputus dari seberang.

Bu Aina, seorang single parent yang membesarkan anak semata wayangnya, Isra, seorang diri. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu, dalam sebuah kecelakaan naas ketika mereka dalam sebuah perjalanan menuju kediaman orang tua Bu Aina. Takdir merenggut kebahagiaan mereka dalam waktu yang begitu singkat. Peristiwa itu meninggalkan bekas yang dalam buat Isra. Umurnya memang telah menginjak remaja, tapi mengikhlaskan kepergian seorang Ayah yang teramat dicintai adalah perkara yang maha berat. Seiring pertambahan usia Isra tumbuh semakin tidak terkontrol.

Sabtu, 03 Februari 2018

Resensi 50 Pendakwah Pengubah Sejarah

Islam adalah agama dakwah. Agar tujuan dakwah tercapai dengan baik, maka keberadaan "model" pendakwah diperlukan untuk dijadikan contoh. Setelah para Rasul, Nabi dan Sahabat/Sahabiyah, model berikutnya adalah para ulama (yg sholih), sebab merekalah penyandang status sebagai "Pewaris para Nabi". Lalu berikutnya dari kalangan orang-orang mukmin yg catatan amal sholihnya telah terbukti mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.

Buku ini merekam jejak perjuangan 50 "model" (pendakwah) yg berkontribusi dengan kapasitas masing-masing. Ada keteladanan sikap, keberanian dan semangat yg diwariskan dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, sekiranya penting buku semisal dengan ini untuk dibaca agar percikan sikap dan pemikiran mereka bisa menginspirasi, terutama buat kawula muda sebagai generasi penerus bangsa.

Jumat, 02 Februari 2018

Sebuah Kisah (1)

Kali ini mulutku seperti terkunci. Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang berputar mengitari kepalaku pasca sambungan suara semalam yang terputus begitu saja setelah dia emosi lalu menangis tanpa bisa kucegah. Aku seperti seorang tersangka yang diinterogasi di ruangan tertutup oleh sang polisi, dipaksa mengaku untuk suatu hal yang tak pernah ku lakukan. Terus bertanya dengan pertanyaan yang sama, dia tidak peduli walau mulutku ini capek berkali-kali mengucap hal yang sama, bahwa aku jujur tidak seperti yang dikatakan. Andai kami berada pada suatu tempat yang sama, seperti sang polisi dan tersangka tentu dia akan melakukan hal yang sama seperti yang sering dilakukan polisi. Menampar. Syukurnya dinas luar kota kali ini menyelematkanku dari peristiwa dahsyat itu. Esok? Entahlah, menikmati sisa hari dengan sunset yang makin membunuh dirinya adalah cara terbaik untuk sejenak melupakan masalah.

Kamis, 01 Februari 2018

Resensi Anak Rantau

Sarat akan nuansa Minang, adalah salah satu hal yang bikin saya excited untuk segera menyelesaikan part demi part buku ini. Mengisahkan tentang perjuangan seorang anak remaja tanggung yang dititipkan sang ayah kepada kakek di kampung halamannya. Hanya dengan satu tujuan agar anak mengerti dan paham akan hakikat hidup. Belajar dikampung barangkali mampu merubah tabiat anaknya yang terlanjur tidak bisa dikontrol oleh ayahnya.

Adegan menyeret-nyeret koper lalu mengejar bus yang ditumpangi ayahnya kembali ke Jakarta adalah hal yang tidak terlupakan bagi Hepi. Ia merasa ditipu dan dikhianati ayahnya sendiri. Rasa benci yang teramat dibumbui rasa dendam menjadi pemicu semangat Hepi untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli tiket kembali ke Jakarta.