Senin, 07 Desember 2015

Aku baik-baik saja, Ibu.

Kesalku mungkin sudah tak terhitung jari seiring perhatian yang masih kau sematkan di usiaku yang sudah terhitung kepala dua. Masih saja kau cemaskan segala tetek bengek tentang kehidupanku. Masihkah belum cukup perhatianmu tertumpah tatkala aku masih kecil dulu? Sungguh ku kesal padamu, Ibu !. Harusnya aku! Biar aku saja! Yang memperlakukanmu dengan hal yang serupa bahkan lebih.

Tiga tahun lalu, malam itu saat dalam perjalanan menuju wisma kala itu Allah takdirkan kecelakaan naas itu untukku. Sambil tergopoh-gopoh berdiri ku dengar sekilas orang-orang di sekelilingku mengatakan tangan sebelah kiriku patah. Ku hibur diri sebisaku, “ini tidak patah, hanya keseleo saja”meski tanganku kiriku bergetar hebat dan sakit yang tak karuan diikuti dingin yang menyelusup begitu luar biasa, sambil sesekali kuseka air mata yang mulai menggenang dipelupuk mata. Kulihat teman-teman dekatku begitu antusias membantuku, mengurus segala keperluanku hingga mengantarku ke tukang urut yang direkomendasikan orang-orang disana. Itu baru temanku, apatah engkau Ibu.