Senin, 07 Desember 2015

Aku baik-baik saja, Ibu.

Kesalku mungkin sudah tak terhitung jari seiring perhatian yang masih kau sematkan di usiaku yang sudah terhitung kepala dua. Masih saja kau cemaskan segala tetek bengek tentang kehidupanku. Masihkah belum cukup perhatianmu tertumpah tatkala aku masih kecil dulu? Sungguh ku kesal padamu, Ibu !. Harusnya aku! Biar aku saja! Yang memperlakukanmu dengan hal yang serupa bahkan lebih.

Tiga tahun lalu, malam itu saat dalam perjalanan menuju wisma kala itu Allah takdirkan kecelakaan naas itu untukku. Sambil tergopoh-gopoh berdiri ku dengar sekilas orang-orang di sekelilingku mengatakan tangan sebelah kiriku patah. Ku hibur diri sebisaku, “ini tidak patah, hanya keseleo saja”meski tanganku kiriku bergetar hebat dan sakit yang tak karuan diikuti dingin yang menyelusup begitu luar biasa, sambil sesekali kuseka air mata yang mulai menggenang dipelupuk mata. Kulihat teman-teman dekatku begitu antusias membantuku, mengurus segala keperluanku hingga mengantarku ke tukang urut yang direkomendasikan orang-orang disana. Itu baru temanku, apatah engkau Ibu.
Tapi malam itu ku paksakan diri untuk setegar mungkin, toh sudah sedewasa ini mestinya ku bisa mengatasi masalahku sendiri. Ku putuskan untuk tidak memberitahumu apa-apa. Dan motorku, keserahkan pada temanku untuk diperbagus sedemikian rupa meski harus mencari pinjaman yang tidak sedikit untuk memperbaiki segala sesuatunya yang rusak. Tujuanku hanya satu, agar nanti ketika pulang engkau tak tau apa yang tengah melanda anakmu ini. Di peraduan malam itu kurasakan sakit yang begitu hebat ditanganku, tulang itu serasa bergerak-gerak tanpa dikomandoi, seketika batinku mendesak untuk segera pulang ‘aku rindu ibu’. Keegoisanku belum cukup untuk kurasakan semua sakit ini sendiri. Segera ku telfon ibu, dan kabarkan padanya bahwa aku jatuh dan tidak ada luka yang berarti. Alhamdulillah tidak banyak tanya yang terlontar untukku. Dengan secuil semangat darinya, hatiku mulai tenang dari gelisahnya yang tak menentu. Esoknya aku dijemput sepupu dan kudapati Ibu tengah cemas menunggu kedatanganku dirumah. Ah, aku kesal, untuk kesekian kalinya aku membuat wajah yang teduh itu kehilangan pesonanya. Kuyakinkan padanya, ini hanya keseleo saja dan sudah di urut di tukang urut profesional. Oleh kakak, aku dibawa ke rumah sakit, dan hasil rontgene positif menampakkan kalau tanganku memang patah. Seketika mengelebat banyanganmu di pikiranku. Berat sungguh kurasa. Akhirnya pemasangan gypsum pun dilakukan tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Setelah sadar, kudapati Ibu tengah menungguiku sambil merapikan rambut yang berseliweran di sela-sela jilbabku. “ibu, maaf” desahku. “Tidak apa-apa nak, Allah masih sayangkan kita dengan ujiannya ini” jawabnya. Walau ku tau ada terselip kekecawaan disana, kecewa karena tidak diberitahu diawal akan dipasangkan benda aneh ini ditanganku. Setelahnya kemanapun ku pergi, ibu selalu mengekoriku. Katanya khawatir akan kenapa-napa. Bahkan ke kamar mandi, BAB pun ibu malah spontan men*****kan (maaf). Tak tertahankan butiran bening mengalir dipipi. Ya Allah, aku baik-baik saja ibu.

Beberapa bulan lalu, aku harus berkali-kali datang ke Rumah Sakit untuk suatu keperluan. Kuputuskan untuk menjaga hal ini rapat-rapat. Ku benci, jika mengacaukan wajah teduh itu lagi. Memendam segala hasrat untuk bercengkrama segalanya denganmu sungguh memilukan, tapi lebih menyakitkan jika lagi-lagi kau tersedih karenaku. Suatu siang, ketika berada dikantor. Hp ku berbunyi ada panggilan telfon dari rumah. Terdengar suaramu diseberang sana, “sehat nak? Tanyamu. “alhamdulillah sehat, bu. Tumben ibu menelfon siang-siang ini?”, jawabku. “perasaan ibu tidak enak, dari kemaren makan tak enak, kepikiran dika terus. Alhmdulillah kalau begitu, jaga diri dan kesehatan baik-baik ya, ya sudah ibu tutup”, jawabnya ringkas. Allah, batin ini menjerit, air mata tak sanggup lagi mewakili perasaan ini. Aku tak tau apakah itu semacam naluri, hingga ia rasai apa yang tengah terjadi dengan buah hatinya. Tak kupedulikan ramai orang lalu lalang di kantorku, air mata ini tak hendak berhenti mengairi wajah ini. Aku baik-baik saja, Ibu.

Dua tahun berlalu, hari dimana status mahasiswaku murni dilepas. Keputusanku bulat, tak beranjak dari kota ini sudah menjadi ketetapanku sejak awal, karena dengannya aku leluasa untuk mengunjungi peraduanmu kapanpun ku mau. Bila akhir pekan tiba, yang terpikir olehku hanya pulang kampung, meski sesekali tertepis karena beberapa agenda yang harus ditunaikan. Mencarikan makan ikan dikolam tiap pekan, membersihkan pengataman*, pergi kepasar dan memijatmu malam harinya, meski selalu di iringi dengan pertanyaan “sudah adakah calon mantu Ibu?”. Ah ku senyumi saja, sudah. Masa tiap pekan ditanyain, Ibu. Ckckk. Suasana yang selalu kurindukan tiap kali berada di Padang.
Kini, usiamu makin senja, ragamu tak lagi sesegar dulu, rambut putih makin hari kian merapat, namun ketegaran itu tetap tampak menghiasi keseharianmu. Ibu, tak henti ku harap kau selalu doakan anakmu ini, agar sholehah tanpa syarat dan taat tanpa tapi. Satu dari sekian banyak kelapangan yang kumiliki, sama sekali tak kusangsikan ia buah dari doamu tiada putus.
Banyak pinta yang terlontar kala sendiriku, ribuan harap hadir menyapa hari-hariku. Untukmu Ibu, semoga Allah mensegerai semua doa dan harapmu, menghapus tiap kegelisahan yang hadir tanpa permisi, membuang jauh segala sakit yang sedang kau rasai, membahagiakan tiap masa yang akan kau pijaki, dan aku menjadi  bagian kebahagiaan terhebatmu dengan senantiasa berbakti dan mengabdi di hari tuamu. Hingga kelak kami dipertemukan lagi di sebaik-baiknya tempat, surga firdaus. Izinkan ya Robb. Aamiin .
Mencintaimu tanpa batas, Ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar