Kamis, 15 Februari 2018

Sebuah Kisah (3)


Aku tau dia tidak sedang berpura-pura. Perasaannya nyata begitu adanya. Dia menghela nafas, kemudian melanjutkan kata-kata yang sepertinya sudah disiapkan untukku.

“Mas ingin aku bahagia, kan. Hanya satu cara, tolong ikuti mauku, Mas?” Katanya ringkas masih dengan air mata berlinang.

“Dek, jangan kekanak-kanakan. Jika kita saling mencintai, lantas kenapa ada kata cerai? Sejak ikrar menghalalkanmu dihadapan ayah dan pak penghulu Mas ucapkan, ada amanah besar setelahnya yang mesti kujaga, yaitu kamu. Tolong jangan sembunyikan apapun dariku dek, apa masalahmu tolong jelaskan padaku?” Aku beranjak menuju matanya menatap.

Air matanya mengalir memenuhi pipi tirusnya. Belakangan terlihat dia makin kurus, katanya diet dari makan ini itu. Kucoba tepis dengan tanganku, lagi-lagi dia mengelak.


Aku semakin bingung juga kalut. Tidak mengerti sama sekali tentang apa yang terjadi. Apa salahku dan kenapa dengan dia sebenarnya. Dia semakin terisak sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Pemandangan dari balkon mal saat itu sebenarnya sangat indah. Nampak laut mengulum pantai berkali-kali, meski tanpa suara aku seperti bisa mendengar desirannya. Satu dua burung singgah dilalu lintas kabel listrik yang lumayan ramai sepanjang mata menatap. Hanya kami berdua disana, dan itu cukup memberi ruang bahkan untuk teriak sekalipun. Tapi nyatanya tidak, dia semakin hemat bicara dan aku tidak tahu lagi apa yang hendak dikatakan.

Kuambil sedikit jarak darinya. Sepertinya dia butuh waktu untuk mengatakan hal lainnya padaku. Menyaksikan ramainya kendaraan yang melintas dibawah cukup membantu mengurangi rasa yang berkecamuk sejak 3 jam lalu. Kulirik lagi wanita tercinta yang dijeda dua buah meja dari posisiku berada, dia masih menangis entah karena apa. Mata ini turut berlinang. Melihat dia bersedih sejak tadi sungguh membuat hatiku luruh.

Setengah jam berlalu tanpa suara. Hanya sedu dan sedan yang sesekali terdengar. Mataku terus menatapnya tanpa jemu, dia sudah tidak menangis namun sesekali masih mengusap pipi dengan sapu tangan yang kuletakkan disisinya tadi.

Aku berjalan menghampirinya dan duduk bersimpuh dihadapannya. Kuambil tangannya dan meletakkannya dikening, meminta maaf jika selama ini dia tidak bahagia hidup bersamaku. Tangan itu dilepas secara halus lalu menyentuh rambutku inci demi inci. Dia menggelengkan kepala saat kumendongak menoleh ke arahnya
.
“Aku mandul, Mas. Dokter bilang kita tidak akan pernah dapat keturunan dariku. Aku tahu persis keluargamu mendambakan cucu dari anak semata wayang mereka. Dan aku tidak ingin menghancurkan harapan itu, Mas. Pergilah, nikahi wanita lain. Aku bisa mencarikan wanita untukmu jika kamu mau. Tidak mengapa sepanjang kamu bahagia menjalani hidupmu walau bukan denganku.” Irama suaranya tidak naik turun lagi. dampak menangis sepertinya memang cukup berpengaruh bagi sebagian wanita.

Aku yang demi mendengar kalimat itu, langsung memeluknya. Sudah lama aku mengetahui perihal ini, sengaja disembunyikan darinya agar tidak ada pikiran aneh yang melintas dibenaknya. Ya seperti yang terjadi pada saat ini.

Kuambil kursi yang terletak diseberang dan disejajarkan dengan kursinya menghadap lurus kearah pantai. Dia sama sekali tidak risih mata ini menatapnya tanpa jeda. Seperti dulu, yang sering tersipu lalu memukul bahuku karena malu, itu bukan pukulan tepatnya, tapi elusan.

“Aku tidak akan menceraikanmu sampai maut berpisah dari raga ini. Tidak penting bagiku kamu bisa hamil atau tidak. Perihal anak, tidak perlu mendikte takdir Allah. Apa saja bisa menjadi mungkin bagiNya. Jikapun pada akhirnya tidak, selalu ada jalan keluar dari setiap permasalahan. Bukankah jika Allah memberi ujian bersamaan dengan solusi yang dihamparkan. Tergantung kita, mencari solusi itu seperti apa. Aku menghela nafas panjang, kulihat dia menatapku lurus. masih ada semburat sedih yang menyembul dari wajah teduhnya.

"Jika ini alasanmu agar aku menceraikanmu, maka jawabannya adalah tidak. Bahkan jika ada alasan lain yang akan kamu utarakan, aku tidak akan pernah melakukan itu. Bagaimanapun kondisimu hari ini, aku akan tetap berada disampingmu, menjagamu sampai maut menjadi pemisah antara kau dan aku. Tidak perlu memikirkan perihal keluargaku, biar itu menjadi urusan Masmu ini. Tugasmu hanya satu, tetaplah menjadi istriku. Mencintaimu adalah hal terindah dan selalu ku jaga sejak dulu, kini dan sampai nanti” Ku kecup jemari wanita yang persis berada dihadapan. Senyumnya mulai menyembul saat ku angkat wajah menatapnya lekat-lekat.

Bulir bening itu lagi-lagi mengairi pipinya. Kali ini kurasa itu adalah sebentuk luapan kelegaan karena jawabanku tadi. Dia balas mengecup tanganku lalu berkata, “makasih, Mas. Sungguh aku juga mencintaimu karena Allah. Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung sedunia, mencintaimu dan dicintai olehmu tanpa syarat.” Jawabnya, sembari menyeka air mata yang berderai.

Semua rasa yang berkecamuk tadi sirna sesirna-sirnanya. Aku lega sekaligus bahagia. Dia akhirnya memukul lenganku karena mataku tak jua beranjak menatapnya. Ah, aku selalu merindukan suasana seperti ini. Bagaimana caranya tersipu membuatku merasa aku bisa membahagiakan dia selamanya. 

Gambar : https://drawinglics.com/s/gambar-muslimah.py

(Selesai)

3 komentar: