“Mas ingin aku bahagia, kan. Hanya satu cara, tolong ikuti mauku, Mas?” Katanya ringkas masih dengan air mata
berlinang.
“Dek, jangan kekanak-kanakan.
Jika kita saling mencintai, lantas kenapa ada kata cerai? Sejak ikrar menghalalkanmu
dihadapan ayah dan pak penghulu Mas ucapkan, ada amanah besar setelahnya yang
mesti kujaga, yaitu kamu. Tolong jangan sembunyikan apapun dariku dek, apa
masalahmu tolong jelaskan padaku?” Aku beranjak menuju matanya menatap.
Air matanya mengalir memenuhi
pipi tirusnya. Belakangan terlihat dia makin kurus, katanya diet dari makan ini
itu. Kucoba tepis dengan tanganku, lagi-lagi dia mengelak.
Aku semakin bingung juga kalut.
Tidak mengerti sama sekali tentang apa yang terjadi. Apa salahku dan kenapa
dengan dia sebenarnya. Dia semakin terisak sementara aku tidak bisa berbuat
apa-apa.
Pemandangan dari balkon mal saat
itu sebenarnya sangat indah. Nampak laut mengulum pantai berkali-kali, meski
tanpa suara aku seperti bisa mendengar desirannya. Satu dua burung singgah dilalu lintas kabel listrik yang lumayan ramai sepanjang mata menatap. Hanya kami
berdua disana, dan itu cukup memberi ruang bahkan untuk teriak sekalipun. Tapi nyatanya tidak, dia
semakin hemat bicara dan aku tidak tahu lagi apa yang hendak dikatakan.
Kuambil sedikit jarak darinya. Sepertinya
dia butuh waktu untuk mengatakan hal lainnya padaku. Menyaksikan ramainya
kendaraan yang melintas dibawah cukup membantu mengurangi rasa yang berkecamuk
sejak 3 jam lalu. Kulirik lagi wanita tercinta yang dijeda dua buah meja dari
posisiku berada, dia masih menangis entah karena apa. Mata ini turut berlinang.
Melihat dia bersedih sejak tadi sungguh membuat hatiku luruh.
Setengah jam berlalu tanpa suara.
Hanya sedu dan sedan yang sesekali terdengar. Mataku terus menatapnya tanpa
jemu, dia sudah tidak menangis namun sesekali masih mengusap pipi dengan sapu
tangan yang kuletakkan disisinya tadi.
Aku berjalan menghampirinya dan
duduk bersimpuh dihadapannya. Kuambil tangannya dan meletakkannya dikening,
meminta maaf jika selama ini dia tidak bahagia hidup bersamaku. Tangan itu
dilepas secara halus lalu menyentuh rambutku inci demi inci. Dia menggelengkan
kepala saat kumendongak menoleh ke arahnya
.
.
“Aku mandul, Mas. Dokter bilang
kita tidak akan pernah dapat keturunan dariku. Aku tahu persis keluargamu
mendambakan cucu dari anak semata wayang mereka. Dan aku tidak ingin menghancurkan
harapan itu, Mas. Pergilah, nikahi wanita lain. Aku bisa mencarikan wanita
untukmu jika kamu mau. Tidak mengapa sepanjang kamu bahagia menjalani hidupmu
walau bukan denganku.” Irama suaranya tidak naik turun lagi. dampak menangis sepertinya
memang cukup berpengaruh bagi sebagian wanita.
Aku yang demi mendengar kalimat
itu, langsung memeluknya. Sudah lama aku mengetahui perihal ini, sengaja
disembunyikan darinya agar tidak ada pikiran aneh yang melintas dibenaknya. Ya
seperti yang terjadi pada saat ini.
Kuambil kursi yang terletak diseberang
dan disejajarkan dengan kursinya menghadap lurus kearah pantai. Dia sama sekali
tidak risih mata ini menatapnya tanpa jeda. Seperti dulu, yang sering tersipu
lalu memukul bahuku karena malu, itu bukan pukulan tepatnya, tapi elusan.
“Aku tidak akan menceraikanmu
sampai maut berpisah dari raga ini. Tidak penting bagiku kamu bisa hamil atau
tidak. Perihal anak, tidak perlu mendikte takdir Allah. Apa saja bisa menjadi
mungkin bagiNya. Jikapun pada akhirnya tidak, selalu ada jalan keluar dari
setiap permasalahan. Bukankah jika Allah memberi ujian bersamaan dengan solusi
yang dihamparkan. Tergantung kita, mencari solusi itu seperti apa. Aku menghela nafas panjang, kulihat dia menatapku lurus. masih ada semburat sedih yang menyembul dari wajah teduhnya.
"Jika ini alasanmu agar aku menceraikanmu, maka jawabannya adalah tidak. Bahkan jika ada alasan lain yang akan kamu utarakan, aku tidak akan pernah melakukan itu. Bagaimanapun kondisimu hari ini, aku akan tetap berada disampingmu, menjagamu sampai maut menjadi pemisah antara kau dan aku. Tidak perlu memikirkan perihal keluargaku, biar itu menjadi urusan Masmu ini. Tugasmu hanya satu, tetaplah menjadi istriku. Mencintaimu adalah hal terindah dan selalu ku jaga sejak dulu, kini dan sampai nanti” Ku kecup jemari wanita yang persis berada dihadapan. Senyumnya mulai menyembul saat ku angkat wajah menatapnya lekat-lekat.
"Jika ini alasanmu agar aku menceraikanmu, maka jawabannya adalah tidak. Bahkan jika ada alasan lain yang akan kamu utarakan, aku tidak akan pernah melakukan itu. Bagaimanapun kondisimu hari ini, aku akan tetap berada disampingmu, menjagamu sampai maut menjadi pemisah antara kau dan aku. Tidak perlu memikirkan perihal keluargaku, biar itu menjadi urusan Masmu ini. Tugasmu hanya satu, tetaplah menjadi istriku. Mencintaimu adalah hal terindah dan selalu ku jaga sejak dulu, kini dan sampai nanti” Ku kecup jemari wanita yang persis berada dihadapan. Senyumnya mulai menyembul saat ku angkat wajah menatapnya lekat-lekat.
Bulir bening itu lagi-lagi
mengairi pipinya. Kali ini kurasa itu adalah sebentuk luapan kelegaan karena
jawabanku tadi. Dia balas mengecup tanganku lalu berkata, “makasih, Mas.
Sungguh aku juga mencintaimu karena Allah. Aku merasa menjadi wanita yang
paling beruntung sedunia, mencintaimu dan dicintai olehmu tanpa syarat.” Jawabnya, sembari menyeka air mata yang berderai.
Semua rasa yang berkecamuk tadi
sirna sesirna-sirnanya. Aku lega sekaligus bahagia. Dia akhirnya memukul
lenganku karena mataku tak jua beranjak menatapnya. Ah, aku selalu merindukan
suasana seperti ini. Bagaimana caranya tersipu membuatku merasa aku bisa
membahagiakan dia selamanya.
Gambar : https://drawinglics.com/s/gambar-muslimah.py
(Selesai)
Duh, Kak Dika, sedih saya bacanya T_T
BalasHapusSedih bangett ....
BalasHapusNice story :)
BalasHapus