Rabu, 14 Februari 2018

Kemana Nurani?


Masih segar diingatan tentang kejadian 6 tahun yang lalu. Cuaca malam itu cerah, tidak ada mendung yang akan membawa hujan mampir ke bumi. Pukul 19.00, belum terlalu malam. Namun karena ada rapat yang mesti dihadiri, maka laju motor sedikit lebih cepat dari biasanya. Takdir Allah membuatku belajar banyak dari kecelakaan yang terjadi setelahnya. Motorku menyenggol trotoar karena katidakfokusanku mengendarai motor. Aku terpelanting cukup jauh. Tubuh ini berguling berkali-kali sampai akhirnya sebuah pohon besar membuat tubuhku berhenti berguling.

Lalu lintas sibuk dan padat. Apalagi tepat di jantung kota. Orang-orang berpacu agar segera cepat sampai ke rumah. Lelah seharian bekerja sepertinya bisa membuat orang abai dengan kondisi sekitarnya.

Dengan kondisi setengah sadar, kulihat simerah berada tepat ditengah jalan. Ramai kendaraan yang lalu lalang, tapi motor yang tergelatak -dengan kondisi setengah hancur- itu hanya dilewati begitu saja. Air mataku sempat menetas, bukan karena kecelakaan tunggal itu tapi miskinnya nurani penduduk kota. Beberapa waktu berlalu, untuk sekedar duduk pun tubuhku belum bisa diajak kerjasama. Terlihat robek dibeberapa bagian rokku. Untungnya kebiasaan memakai celana membawa dampak baik kali ini. Auratku terjaga. Tapi belum tampak seorang pun berlari kearahku. Jujur aku begitu butuh pertolongan kala itu.

Kemana nurani mereka? Sampai saat ini pertanyaan itu masih suka bergayut di benakku. Menyaksikan diri tergolek lemah tak berdaya, tapi diabaikan begitu saja. Pedih, hati seperti diiris benda tajam. Mengalahkan rasa sakit akibat benturan yang berulang kali. Aku tidak tahu pasti dimenit keberapa akhirnya ada malaikat tak bersayap yang tergopoh-gopoh datang membantu. Aku tak sempat tanya namanya, yang jelas dia adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri yang kebetulan lewat saat itu.

Kisah seperti ini tentu tidak hanya terjadi padaku saja. Ramai orang di luar sana yang bahkan dengan kondisi yang lebih memprihatinkan, yang sangat lebih dari layak untuk ditolong, namun mereka masih mikir-mikir untuk sekedar mengulurkan tangan. Sangat disayangkan, budaya saling tolong menolong yang sering kita pelajari dalam pelajaran sejarah, seperti mulai dikikis zaman. Individualisme semakin dikedepankan. Siapapun, termasuk aku semoga lebih peka dengan kondisi-kondisi di sekitar. Seperti yang Rasulullah ajarkan kepada kita “Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmim, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.” (Mutafaq’ Alaih). Berharap kita  bisa mengamalkannya. Sebab sejatinya apapun yang kita lakukan di muka bumi ini, semua akan berpulang kepada kita sendiri.

Gambar : http://majalahumor.blogspot.com/2015/05/assalamualaikummbak-nurani.html?m=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar