Jumat, 02 Februari 2018

Sebuah Kisah (1)

Kali ini mulutku seperti terkunci. Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang berputar mengitari kepalaku pasca sambungan suara semalam yang terputus begitu saja setelah dia emosi lalu menangis tanpa bisa kucegah. Aku seperti seorang tersangka yang diinterogasi di ruangan tertutup oleh sang polisi, dipaksa mengaku untuk suatu hal yang tak pernah ku lakukan. Terus bertanya dengan pertanyaan yang sama, dia tidak peduli walau mulutku ini capek berkali-kali mengucap hal yang sama, bahwa aku jujur tidak seperti yang dikatakan. Andai kami berada pada suatu tempat yang sama, seperti sang polisi dan tersangka tentu dia akan melakukan hal yang sama seperti yang sering dilakukan polisi. Menampar. Syukurnya dinas luar kota kali ini menyelematkanku dari peristiwa dahsyat itu. Esok? Entahlah, menikmati sisa hari dengan sunset yang makin membunuh dirinya adalah cara terbaik untuk sejenak melupakan masalah.

Siang ini tak tampak aroma emosi dari wajahnya yang manis, yang selama tiga tahun ini berhasil membuat duniaku teralihkan. Namun, untuk sekedar menyapa pun aku masih belum berhasil mengumpulkan kekuatan. Setengah jam berlalu, belum ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, juga aku. Musik yang mengalun dari speaker si empunya cafe seperti menegaskan suara hatiku yang linglung dan tak tentu arah. Pandangannya terus menukik ke bawah. Aku masih belum berani walau sekedar basa-basi.

“Di minum gih, Mas”. Ujarnya setelah nyaris satu jam berlalu, walau dengan pandangan yang masih terus menukik ke bawah.

Oh, Tuhan. Jantungku akhirnya berdegup normal setelah hampir 60 menit menahan sesak yang entah dari mana sumbernya.

“Mas, aku mau bicara. Cafe Bocini jam 14.00”. Begitu bunyi pesan singkatnya sebelum dasiku benar-benar terpasang pagi tadi. “Ya, still missing you”. Jawabku seperti biasa ketika membalas pesan apapun darinya. Dia adalah wanitaku sejak 3 tahun lalu, mencintainya adalah hal terbaik yang pernah kulakukan. Aku menyukai semua tentang dia sejak awal hubungan ini terjalin, tidak pernah seinci pun rasa itu terkurangi meski dia kadang suka marah tidak jelas, walau aku sering jadi pelampiasan kepenatannya yang berujung emosi dan tangisan. Seperti malam itu.

Mas, aku mau cerai”. Ucapnya pelan dengan pandangan yang tak beranjak. Aku sontak terjaga dari lamunku yang panjang. Mataku langsung menuju matanya yang tak sekalipun sejak tadi menatapku. Buliran bening mulai menggenang di pelupuk mata, kupaksa bicara walau rasanya ada sesuatu yang berat menyekat tenggorokanku. “Kamu kenapa, Dek? Aku salah apa?” Tak terasa bulir bening itu akhirnya menyerah untuk bertahan. Kali ini aku benar-benar menangis.

Bersambung ...

2 komentar: