Kali ini mulutku seperti terkunci. Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang
berputar mengitari kepalaku pasca sambungan suara semalam yang terputus begitu
saja setelah dia emosi lalu menangis tanpa bisa kucegah. Aku seperti seorang
tersangka yang diinterogasi di ruangan tertutup oleh sang polisi, dipaksa
mengaku untuk suatu hal yang tak pernah ku lakukan. Terus bertanya dengan
pertanyaan yang sama, dia tidak peduli walau mulutku ini capek berkali-kali
mengucap hal yang sama, bahwa aku jujur tidak seperti yang dikatakan. Andai
kami berada pada suatu tempat yang sama, seperti sang polisi dan tersangka
tentu dia akan melakukan hal yang sama seperti yang sering dilakukan polisi.
Menampar. Syukurnya dinas luar kota kali ini menyelematkanku dari peristiwa
dahsyat itu. Esok? Entahlah, menikmati sisa hari dengan sunset yang makin
membunuh dirinya adalah cara terbaik untuk sejenak melupakan masalah.
Siang ini tak tampak aroma emosi
dari wajahnya yang manis, yang selama tiga tahun ini berhasil membuat duniaku
teralihkan. Namun, untuk sekedar menyapa pun aku masih belum berhasil
mengumpulkan kekuatan. Setengah jam berlalu, belum ada sepatah kata yang keluar
dari mulutnya, juga aku. Musik yang mengalun dari speaker si empunya cafe
seperti menegaskan suara hatiku yang linglung dan tak tentu arah. Pandangannya
terus menukik ke bawah. Aku masih belum berani walau sekedar basa-basi.
“Di minum gih, Mas”. Ujarnya setelah nyaris satu jam berlalu, walau dengan
pandangan yang masih terus menukik ke bawah.
Oh, Tuhan. Jantungku akhirnya
berdegup normal setelah hampir 60 menit menahan sesak yang entah dari mana
sumbernya.
“Mas, aku mau bicara. Cafe Bocini
jam 14.00”. Begitu bunyi pesan singkatnya sebelum dasiku benar-benar terpasang pagi
tadi. “Ya, still missing you”. Jawabku seperti biasa ketika membalas pesan
apapun darinya. Dia adalah wanitaku sejak 3 tahun lalu, mencintainya adalah hal
terbaik yang pernah kulakukan. Aku menyukai semua tentang dia sejak awal
hubungan ini terjalin, tidak pernah seinci pun rasa itu terkurangi meski dia
kadang suka marah tidak jelas, walau aku sering jadi pelampiasan kepenatannya
yang berujung emosi dan tangisan. Seperti malam itu.
“Mas, aku mau cerai”. Ucapnya pelan dengan pandangan yang tak
beranjak. Aku sontak terjaga dari lamunku yang panjang. Mataku langsung menuju
matanya yang tak sekalipun sejak tadi menatapku. Buliran bening mulai
menggenang di pelupuk mata, kupaksa bicara walau rasanya ada sesuatu yang berat
menyekat tenggorokanku. “Kamu kenapa, Dek? Aku salah apa?” Tak terasa bulir
bening itu akhirnya menyerah untuk bertahan. Kali ini aku benar-benar
menangis.
Bersambung ...
Wahhh ditunggu sambungannya besok Kak :)
BalasHapusInsya Allah, makasih kunjungannya :D
Hapus