Sabtu, 03 Maret 2018

Kolaborasi Waktu, Jarak dan Takdir


Jarak seperti bersemangat memisahkan kita. Berkali-kali merampas tega kebersamaan yang sejak dulu dibina apik. Sungguh tidak sopan, membawa pergi seseorang tanpa izin. Tiga perempat windu bukan ukuran yang sebentar membuatmu lama menetap direlung hati. Aku sempat tidak mengizinkanmu masuk, hanya membiarkan di pintu terluar hati. Ada ketakutan yang membayangi jika kuizinkan kau masuk terlalu jauh ke dasar hati. Namun waktu merubah kondisi itu, ia mengarahkanmu masuk bahkan tanpa kubuka pintu. Ada kuasa yang aku tak bisa berkuasa atasnya. Itu dulu. Dulu sekali. Sebelum ada jeda yang membayangi hari-hari setelahnya.

Jutaan detik terus mengalir, seperti air yang tanpa lelah berjalan menuju muara. Menghadang siapa saja yang menghalangi tiap jengkal jalan yang dilewatinya, tanpa peduli kenapa, apa dan siapa. Aku tahu waktu tidak perlu mempertanyakan kesanggupanku berpisah denganmu. Apa peduli dia, itu bukan urusannya. Sampai pada waktu itu tiba, aku hanya bisa termangu menyaksikanmu seperti potongan puzzle yang diambil satu persatu.

Waktu dan jarak adalah kolaborasi yang sempurna menjadi tembok pemisah. Kokoh dan terlalu sulit dikalahkan. Ribuan kisah berakhir tragis karenanya. Sulit kukatakan kisah kita pun akan berakhir sama. Bukan mauku, namun takdir seperti memperlancar ending yang menyedihkan itu. Ketakutan yang dulu sempat membayangi akhirnya terpampang nyata dalam episode hidupku. Aku masih terpaku ditempat yang sama, namun dengan kondisi hati yang berbeda. Kebersamaan yang dulu pernah tercipta, kerap menjadi rindu yang tak pernah tertuntaskan. Kau menjadi bayang-bayang sendu yang sering menghiasi hari-hariku. Lagi ini bukan mauku, waktu membuat segala tentangmu yang dulu indah, sekarang berakhir pilu.

“Ini belum berakhir”, egoisku bilang begitu. Meski fakta terus menjauhkan prasangka baik itu dariku. “Ini sudah berakhir” begitu sekiranya yang ingin ia sampaikan padaku. Ini bukan lagi tentang waktu dan jarak, namun lebih dari itu, takdir. Itu seperti harga mati. Aku sama sekali tidak diberi pilihan. Sisa-sisa perjuangan dulu ku kubur hidup-hidup di depan mata. Tidak ada lagi keegoisan, juga tidak ada lagi air mata. Pelan-pelan risau akan hilangnya bayang-bayangmu tidak lagi terasa semenyakitkan dulu. Apakah ini salah satu bukti kinerja waktu? Entahlah, aku bukan seorang peramal. Yang pasti ada hati yang kurelakan pergi, semenjak kamu tak bisa kujamah lagi walau dalam mimpi. 

23.40 Akhirnya selesai tulisan yang intinya entah apa. Ini bukan curhatan, hanya gabungan beberapa kisah mereka yang pernah berdengung ditelingaku. Masih dalam misi yang sama, melunasi hutang. Selamat malam :)

1 komentar: