Jarak seperti bersemangat
memisahkan kita. Berkali-kali merampas tega kebersamaan yang sejak dulu dibina
apik. Sungguh tidak sopan, membawa pergi seseorang tanpa izin. Tiga perempat
windu bukan ukuran yang sebentar membuatmu lama menetap direlung hati. Aku sempat
tidak mengizinkanmu masuk, hanya membiarkan di pintu terluar hati. Ada ketakutan
yang membayangi jika kuizinkan kau masuk terlalu jauh ke dasar hati. Namun waktu
merubah kondisi itu, ia mengarahkanmu masuk bahkan tanpa kubuka pintu. Ada kuasa
yang aku tak bisa berkuasa atasnya. Itu dulu. Dulu sekali. Sebelum ada jeda
yang membayangi hari-hari setelahnya.
Jutaan detik terus mengalir,
seperti air yang tanpa lelah berjalan menuju muara. Menghadang siapa saja yang
menghalangi tiap jengkal jalan yang dilewatinya, tanpa peduli kenapa, apa dan
siapa. Aku tahu waktu tidak perlu mempertanyakan kesanggupanku berpisah
denganmu. Apa peduli dia, itu bukan urusannya. Sampai pada waktu itu tiba, aku
hanya bisa termangu menyaksikanmu seperti potongan puzzle yang diambil satu
persatu.
Waktu dan jarak adalah kolaborasi
yang sempurna menjadi tembok pemisah. Kokoh dan terlalu sulit dikalahkan. Ribuan
kisah berakhir tragis karenanya. Sulit kukatakan kisah kita pun akan berakhir
sama. Bukan mauku, namun takdir seperti memperlancar ending yang menyedihkan
itu. Ketakutan yang dulu sempat membayangi akhirnya terpampang nyata dalam
episode hidupku. Aku masih terpaku ditempat yang sama, namun dengan kondisi
hati yang berbeda. Kebersamaan yang dulu pernah tercipta, kerap menjadi rindu
yang tak pernah tertuntaskan. Kau menjadi bayang-bayang sendu yang sering
menghiasi hari-hariku. Lagi ini bukan mauku, waktu membuat segala tentangmu
yang dulu indah, sekarang berakhir pilu.
“Ini belum berakhir”, egoisku
bilang begitu. Meski fakta terus menjauhkan prasangka baik itu dariku. “Ini
sudah berakhir” begitu sekiranya yang ingin ia sampaikan padaku. Ini bukan lagi
tentang waktu dan jarak, namun lebih dari itu, takdir. Itu seperti harga mati. Aku
sama sekali tidak diberi pilihan. Sisa-sisa perjuangan dulu ku kubur
hidup-hidup di depan mata. Tidak ada lagi keegoisan, juga tidak ada lagi air
mata. Pelan-pelan risau akan hilangnya bayang-bayangmu tidak lagi terasa
semenyakitkan dulu. Apakah ini salah satu bukti kinerja waktu? Entahlah, aku
bukan seorang peramal. Yang pasti ada hati yang kurelakan pergi, semenjak kamu
tak bisa kujamah lagi walau dalam mimpi.
23.40 Akhirnya selesai tulisan yang intinya entah apa. Ini bukan curhatan, hanya gabungan beberapa kisah mereka yang pernah berdengung ditelingaku. Masih dalam misi yang sama, melunasi hutang. Selamat malam :)
Keren. Keren. Keren.
BalasHapusSemangaaattt... ^_^