Senin, 05 Maret 2018

Sahabatku Malang

Masih setengah sadar saat kubuka mata ketika mendengar suara berisik dari ruang depan. Kulirik jam di dinding, meski remang-remang tapi terlihat jelas, masih pukul 2 pagi. Waktu dimana tidur sedang lelap-lelapnya.

“Ah mengganggu tidurku saja,” keluhku dalam hati

Penasaran berhasil membuatku bangkit dari tempat tidur. Dengan sisa kantuk yang masih memberati, kupaksa juga berjalan menuju sumber suara. Dari arah pukul sembilan terlihat Mbo Idu berlari tergopoh-gopoh. Bahkan nyaris menabrakku yang berdiri tepat di samping meja makan. Jantungku mulai berirama tidak beraturan. Jika Mbo Idu berhasil menabrakku dengan kecepatan kaki yang ditengah dikayuhnya, bisa-bisa aku bisa geger otak akibat terhempas keras ke lantai. Untung saja mata Mbok Idu masih jeli walau masih sepagi ini.

Penasaranku semakin menjadi-jadi. Tidak ada lagi kantuk yang tersisa saat melihat Mbok Idu berlari lalu ikut bergegas menuju ruang depan tempat dimana keributan tengah terjadi.

Aku memilih berdiri disamping lemari besar di ruang tamu yang cukup luas ini. Berjarak 15 meter dari pusat kehebohan. Disana terlihat Mama, Papa, Bang Adi juga Kak Nela. Belum jelas apa yang tengah terjadi, tapi terdengar kontras suara Mama yang menangis tersedu-sedu, juga Kak Nela. Bang Adi sibuk menelpon seseorang yang entah siapa. Dan Papa dengan wajah teduhnya terus memangku Mama agar tenang menghadapi situasi ini.

“Pa, dimana Ayi, Pa?” suara Mama meski masih sedu sedan namun jelas, mengagetkanku bahwa ada yang luput dari penglihatanku.

“Ayi, iya Ayi. Ah bagaimana bisa aku tidak mengingat Ayi? Seseorang yang paling dekat denganku di keluarga ini.” Suara batin seperti menyalahkan diriku sendiri.

Aku baru menyadari apa sedang terjadi. Ayi tidak ada dirumah pukul segini. Meski tidak mendengar langsung dari mulut mereka, aku bisa tahu dari setiap gerak-gerik mereka.

Demi menyadari hal itu, aku segera berlari menuju tempat dimana Ayi sering membawaku kesana. Sebuah gudang kecil kosong di taman belakang rumah yang disulap Ayi seperti kamarnya sendiri. Lengkap dengan pernik khas kesukaannya yaitu lampion lusuh bergambar seseorang yang tidak kukenal. Aku tau betapa Ayi menyukainya, bukan lampu itu tapi gambar yang terpampang disana.

Benar saja, saat ku geser pintu, akses yang dibuat Ayi untuk masuk ke gudang. Terlihat Ayi sedang tidur disana, sambil memeluk lampion itu. Tidak ada lampu, tapi pantulan cahaya dari halaman belakang cukup memberi jalan bagi mata untuk melihat sekitar gudang.

Aku terpaku memikirkan apa yang sedang terjadi. Tidak lama berselang, Ayi terbangun, barangkali karena jemariku yang berkali-kali kuusapkan ke wajahnya. Matanya sembab. Seketika dia tarik tubuhku dan membuat tubuhku rebah di dekatnya.

Aku kaget, saat lirih terdengar dia bergumam, “Push, Ayi pengen ketemu Ibu”. Kelak aku tau Ibu yang sering disebut-sebut Ayi adalah wanita yang melahirkannya. Ibu yang belakangan sering dicari Ayi kemana-mana bersamaku tanpa sepengetahuan Mama. Dan Ibu, seseorang yang tidak disukai Mama, entah kenapa.

Aku turut memejamkan mata saat Ayi semakin erat mendekap tubuhku.

11 komentar: