Masih setengah sadar saat kubuka
mata ketika mendengar suara berisik dari ruang depan. Kulirik jam di dinding, meski
remang-remang tapi terlihat jelas, masih pukul 2 pagi. Waktu dimana tidur
sedang lelap-lelapnya.
“Ah mengganggu tidurku saja,” keluhku dalam hati
Penasaran berhasil membuatku
bangkit dari tempat tidur. Dengan sisa kantuk yang masih memberati, kupaksa
juga berjalan menuju sumber suara. Dari arah pukul sembilan terlihat Mbo Idu
berlari tergopoh-gopoh. Bahkan nyaris menabrakku yang berdiri tepat di samping
meja makan. Jantungku mulai berirama tidak beraturan. Jika Mbo Idu berhasil
menabrakku dengan kecepatan kaki yang ditengah dikayuhnya, bisa-bisa aku bisa
geger otak akibat terhempas keras ke lantai. Untung saja mata Mbok Idu masih
jeli walau masih sepagi ini.
Penasaranku semakin menjadi-jadi.
Tidak ada lagi kantuk yang tersisa saat melihat Mbok Idu berlari lalu ikut bergegas
menuju ruang depan tempat dimana keributan tengah terjadi.
Aku memilih berdiri disamping
lemari besar di ruang tamu yang cukup luas ini. Berjarak 15 meter dari pusat
kehebohan. Disana terlihat Mama, Papa, Bang Adi juga Kak Nela. Belum jelas apa
yang tengah terjadi, tapi terdengar kontras suara Mama yang menangis
tersedu-sedu, juga Kak Nela. Bang Adi sibuk menelpon seseorang yang entah
siapa. Dan Papa dengan wajah teduhnya terus memangku Mama agar tenang
menghadapi situasi ini.
“Pa, dimana Ayi, Pa?” suara Mama
meski masih sedu sedan namun jelas, mengagetkanku bahwa ada yang luput dari
penglihatanku.
“Ayi, iya Ayi. Ah bagaimana bisa aku tidak mengingat Ayi? Seseorang
yang paling dekat denganku di keluarga ini.” Suara batin seperti
menyalahkan diriku sendiri.
Aku baru menyadari apa sedang
terjadi. Ayi tidak ada dirumah pukul segini. Meski tidak mendengar langsung
dari mulut mereka, aku bisa tahu dari setiap gerak-gerik mereka.
Demi menyadari hal itu, aku
segera berlari menuju tempat dimana Ayi sering membawaku kesana. Sebuah gudang kecil
kosong di taman belakang rumah yang disulap Ayi seperti kamarnya sendiri.
Lengkap dengan pernik khas kesukaannya yaitu lampion lusuh bergambar seseorang
yang tidak kukenal. Aku tau betapa Ayi menyukainya, bukan lampu itu tapi gambar
yang terpampang disana.
Benar saja, saat ku geser pintu,
akses yang dibuat Ayi untuk masuk ke gudang. Terlihat Ayi sedang tidur disana,
sambil memeluk lampion itu. Tidak ada lampu, tapi pantulan cahaya dari halaman
belakang cukup memberi jalan bagi mata untuk melihat sekitar gudang.
Aku terpaku memikirkan apa yang
sedang terjadi. Tidak lama berselang, Ayi terbangun, barangkali karena jemariku
yang berkali-kali kuusapkan ke wajahnya. Matanya sembab. Seketika dia tarik
tubuhku dan membuat tubuhku rebah di dekatnya.
Aku kaget, saat lirih terdengar
dia bergumam, “Push, Ayi pengen ketemu Ibu”. Kelak aku tau Ibu yang sering
disebut-sebut Ayi adalah wanita yang melahirkannya. Ibu yang belakangan sering
dicari Ayi kemana-mana bersamaku tanpa sepengetahuan Mama. Dan Ibu, seseorang
yang tidak disukai Mama, entah kenapa.
Aku turut memejamkan mata saat
Ayi semakin erat mendekap tubuhku.
T_T
BalasHapusbersambung kan? mau gelar tiker nih.. nunggu kelanjutannya..
BalasHapusnggak kang.. gak mau bikinin kayak apa lagi.. hiks
HapusWah... bikin penasaran mbak 😆
BalasHapusInteresting😁
BalasHapusHooo~~~ :o
BalasHapusKukira aku ini siapa~ ><
Keren keren
BalasHapusPantengin 😅
BalasHapusKeren... Lanjutkan kakk :)
BalasHapusSedihnya, hiks hiks, lanjut
BalasHapusSukaaa😍
BalasHapus