Minggu, 11 Maret 2018

Takdir Terbaik (Episode 1)

DI SUDUT SEBUAH RUKO

Padang sedang berangkat menghampiri malam. Pelan-pelan cahaya jingga meredup diujung langit. Membawa gelap ke seluruh penjuru ibukota. Cahaya yang menggantung selama dua belas jam mulai digantikan lampu jalanan yang hidup satu persatu. Di salah satu sudut ruko yang mulai gelap tampak seorang lelaki remaja yang berkali-kali mengeluarkan bongkahan asap dari mulut yang sengaja dimonyongkan agar asap yang terkepul tampak menarik. Tergeletak beberapa puntung rokok di samping kiri tempat ia tengah bersandar, entah sudah berapa jam dia duduk disana.

Cahaya dari lampu mobil yang berkali-kali lalu lalang menegaskan bahwa dia bukanlah seorang anak jalanan. Wajahnya bersih hanya ada sedikit kumal dan itu tidak terlalu mencolok. Potongan rambutnya rapi dibelah kiri, seperti dipakaikan minyak rambut sebelum keluar rumah. Jaket denim yang membungkus tubuhnya jauh dari kata lusuh. Jam tangan trendy yang sedang dipakai semakin memperkuat dugaan bahwa dia memang bukan anak jalanan.

Malam semakin pekat membungkus kota. Lelaki itu terus saja duduk disana ditemani rokok yang sepertinya memang sengaja disediakan lebih banyak tanpa menghiraukan himbauan dari beberapa pengendara untuk pulang kerumah. Dia masih remaja, barangkali  begitu yang dipikirkan oleh orang-orang yang menyuruhnya bergegas pulang.

Selang beberapa waktu nampak cahaya putih dari saku celananya. Ada panggilan masuk. Lelaki itu tampak tidak peduli. Ia melanjutkan menghisap rokok setelah terhenti saat ia melihat siapa yang sedang mencoba untuk menghubunginya. Sekali lagi handphone itu bergetar, ia mengabaikannya, lagi.

Jalanan mulai sepi dari hirup pikuk kendaraan. Lampu luar ruko itu tetap tidak hidup. Sepertinya pemilik ruko lupa menghidupkan lampu saat ia menutup kedainya. Lelaki itu mendesah pelan, tidak ada lagi rokok yang tersisa. Ia ambil handphone yang tertambat di saku celana kanan. Delapan panggilan tak terjawab dari Mama. Tiga belas panggilan tak terjawab dari Bang Jua. Ia tidak bergeming, lantas kembali memasukkan handphone ke saku celananya.

Bulan dengan gagahnya menampakkan diri di atas langit. Melindungi kota dari pekat yang semula mengawani malam. Hampir tengah malam. Lelaki itu berjalan dengan gontai tanpa ada rasa takut sedikitpun dengan keganasan malam. Sebelum tubuhnya menghilang di bawah remang-remang cahaya bulan, ia menelpon seseorang yang entah siapa. Singkat saja, hanya beberapa detik. Masih terdengar irama sepatunya sebelum akhirnya ia benar-benar menghilang di kegelapan malam.

3 komentar:

  1. Keren nih. Seperti.y lelaki itu sedang ada masalah di rumah ya

    BalasHapus
  2. Keren, seperti biasanya.
    Lanjut Uni Dika ^_^

    BalasHapus