Kamis, 25 Januari 2018

Terima Kasih, Murabbiku (part 1)

Jika aku adalah seorang yang puitis yang sekejap mata melahirkan kata maka kupastikan tiap hari puisiku tercipta untukmu. Jika aku adalah seorang penulis yang gampang meliuk-liukkan jemari di atas keyboard maka tak berbilang berapa banyak tulisan yang ku persembahkan untukmu. Jika saja.

25 tahun mengembara di bumi yang penuh dengan dugaan ini, menjadi bagian dari salah satu generasi tertarbiyah adalah kesyukuran yang tak terhingga. Bukan, bukan aku merasa lebih baik dari siapapun. Aku bersyukur Allah berkenan memberikanku teman-teman yang senantiasa mengingatkan dalam kebaikan. Tanpa memandang “aku” di wajah masa lalu, mereka menerima segalaku apa adanya. Sungguh ini adalah kesyukuran terhebatku.
Masih terngiang di ingatan bagaimana indahnya pertemuan di awal kita bersua. Pengetahuan agamaku yang masih terbilang cetek, tilawahku yang sungguh berantakan, cara berpakaianku yang sangat jauh dari syari’at. Kau menuntunku dengan sabar persis seperti mengajarkan bayi bagaimana cara berjalan. Kau tau aku tidak sebaik yang kau bayangkan, yang satu dua kali di ajarkan langsung paham. Tidak. Aku pernah berontak ingin bebas, merasa apa yang sedang kujalani adalah sesuatu yang salah. Sekali dua aku bahkan mengacuhkanmu, mangkir dari janji pertemuan kita. Aku kira kau akan menyerah lalu pergi. Tentu saja pikiranku melesat, dengan sabarmu yang segunung itu kau tetap datang meski tau akan mendapat respon seperti apa. Tidak peduli cuaca saat itu turut mendukungmu atau tidak, kau tetap datang untuk menemui.

Dengan tekad yang terus kau buktikan aku akhirnya menyerah di pertemuan yang kesekian kalinya. Aku mulai merasa bahwa kau adalah sesuatu, meski telat menyadari. Kau tidak seperti senior-seniorku yang lainnya yang kerap mendengung-dengungkan perintah namun luput dari mengerjakannya. Kau sungguh sesuatu, dengan tutur yang lembut dan sikapmu yang tawadhu membuatku terhipnotis untuk mengikuti jejakmu yang di awal tak kusukai itu.

Sampai pada akhirnya aku tau, kau mendedikasikan waktumu tanpa uang sepeserpun. Kau mengorbankan waktu istirahatmu tanpa paksaan dari siapapun. Dan orang sepertimu, satu dari ratusan orang-orang dikampus sana yang mempunyai IQ tinggi atau pintar berdeklarasi. Meski kau tak seperti mereka, namun semangatmu untuk menjadi generasi pelurus jauh melampaui nilai mereka. Untukmu, terima kasih telah mengajakku serta dalam perjalanan ini. Semoga semangat darimu tetap tumbuh dihati, persis seperti pertama kali aku tersentuh dengan segenap apa yang kau beri. 

14 komentar:

  1. tiada hal yang lebih indah melainkan selalu berada dalam lingkaran dakwah dan murobbi/murobbiyah ialah sosok yang kan selalu menguatkan, membersamai dalam iman.
    terima kasih tulisannya kak Dika,
    25 tahun ternyata... ^_^
    makin tua aku... Hiii...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar bgt tuh mba
      Btw tua an kamu apa aku y kk?

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. Aku setuju dengan ka Isnania. :)

    Ada getaran hati yang berbeda kala berkumpul bersama orang seperti mereka. Ah, aku jadi rindu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bunda, makasih sudah berkunjung dimari 😊

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. Bertemu dengan seseorang yang bisa menerima kita apa adanya, tanpa lihat sisi gelap dari diri kita yang terdahulu adalah anugerah terindah yang tak terkira.

    BalasHapus
  4. Kalau Murabbinya baca pasti terharu banget. Sukaa... 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe..ekspetaksiku jg gitu. Tp gak kayaknya deh, tulisanny masih receh gt 😁

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus