Judul Buku : Jenderal Kambing
Tebal : 209 hal
Penerbit : Exchange Publishing Your Idea
Peresume : Paramudika H
Namanya Ibrahim. Ia lahir tanpa disaksikan sang ayah yang sedang bertugas jauh. Seolah melengkapi penderitaannya, beberapa saat setelah lahir, ibunya menghembuskan nafas yang terakhir. Ayahnya baru pulang ketika usianya menginjak enam bulan. Sedari kecil ia hidup pas-pasan. Sepulang sekolah, ia menggembala kambing untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikannya. (Blurb)
Tebal : 209 hal
Penerbit : Exchange Publishing Your Idea
Peresume : Paramudika H
Namanya Ibrahim. Ia lahir tanpa disaksikan sang ayah yang sedang bertugas jauh. Seolah melengkapi penderitaannya, beberapa saat setelah lahir, ibunya menghembuskan nafas yang terakhir. Ayahnya baru pulang ketika usianya menginjak enam bulan. Sedari kecil ia hidup pas-pasan. Sepulang sekolah, ia menggembala kambing untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikannya. (Blurb)
Alasan utama saya membeli buku
ini pada saat harbolnas kemaren adalah karena tertarik dengan karya-karyanya
Khrisna Pabichara, setelah sebelumnya membaca buku beliau yang berjudul Sepatu
Dahlan. Sayangnya, hanya buku ini yang tersisa saat saya ketik nama penulis di
kolom pencarian. Sebenarnya ingin punya buku-bukunya yang lain. Jujur saja,
karya beliau yang pertama kali saya baca berhasil membuat jatuh hati karenanya.
Seperti pada kisah Sepatu Dahlan,
buku ini juga diilhami dari kisah nyata. Tentang seorang penggembala kambing
yang berhasil menjadi orang sukses dimasa mendatang. Kelihaian penulis
memainkan kata-kata membuat saya semakin candu untuk terus membaca. Buku ini
adalah salah satu dari dua buku yang saya beli tanpa membaca sinopsis. Dan
hasilnya sangat memuaskan.
Ibrahim dibesarkan dengan penuh
kasih sayang meski oleh ibu tiri. Baginya, cerita tentang kekejaman ibu tiri
hanya ada didongeng-dongeng belaka. Ibra, begitu panggilannya begitu dekat
dengan sang ibu bahkan sampai urusan hati, tempat mengadu yang tepat baginya
adalah ibu.
“Lelaki yang marah karena
cintanya ditampik adalah lelaki yang tidak paham hakikat cinta. Lelaki seperti
itu ‘mencintai dirinya sendiri’. Egois. Hanya perempuan lugu, kalau kata
‘dungu’ terlalu kasar, yang mau dicintai lelaki seperti itu” (hal 31).
Penolakan dari gadis pujaan,
Salma, adalah awal dari semangat Ibra yang terus hidup. Ibra bertekad untuk
masuk AMN (Angkatan Militer Negara). Meski bapak tidak menyetujui keinginannya,
tidak serta merta membuat Ibra patah semangat. Baginya menjadi orang sukses
adalah harga mati. Berkat bantuan sang adik yang menjualkan kambing-kambingnya
juga yang berperan sebagai pemalsu tanda tangan ayahnya, Ibra berangkat menuju
kota Makassar setelah meninggalkan sepucuk surat yang diletakkan begitu saja di
kamar.
“Maafkan Leo,Pak. Maafkan Leo,
Bu.
Pagi ini Leo sudah harus
berangkat ke Makassar.
Leo harus ikut seleksi kesamaptaan.
Doakan Leo, Pak.
Bila tak wafat ditengah
pendidikan.
Leo akan menjemput bapak dan ibu.
Empat tahun setelah hari ini.
Dariku, Leo”
Ayahnya membisu. Air mata ibunya
terus mengalir, tanpa isak dan sedu sedan. Perkara ini akan mudah jika semalam
bapak meneken surat perizinan itu. Ibra telah pergi.
Tekad Ibra untuk menjadi seorang
AMN seperti direstui Tuhan. Ia melewati semua tahapan dengan nilai tertinggi.
Ia dinyatakan lulus dan berangkat ke Ibukota untuk menjalani masa studi.
Beberapa waktu berlalu, ada kerinduan yang selalu menyelusup sanubarinya
tatkala libur tiba. Saat yang lain pulang ke kampung halaman, Ibra harus
menikmati kesendirian di asrama. Ia kubur hasrat untuk pulang sampai nanti ia
lulus melewati semua perjuangan seperti janji yang ia ikrarkan tempo lalu.
Buku ini secara umum baik dibaca
siapa saja. Tidak hanya mengisahkan tentang perjuangan Ibra mencapai
cita-citanya namun juga bagaimana dia memperoleh cintanya. Selain tidak
membosankan di dalamnya juga terselip humor ringan yang lumayan mengocok perut.
Jika diawal saya menyukai Tere Liye, sepertinya sekarang Khrisna Pabichara
mampu mengungguli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar