Jumat, 09 Februari 2018

Resensi Jenderal Kambing

Judul Buku : Jenderal Kambing
Tebal : 209 hal
Penerbit : Exchange Publishing Your Idea
Peresume : Paramudika H

Namanya Ibrahim. Ia lahir tanpa disaksikan sang ayah yang sedang bertugas jauh. Seolah melengkapi penderitaannya, beberapa saat setelah lahir, ibunya menghembuskan nafas yang terakhir. Ayahnya baru pulang ketika usianya menginjak enam bulan. Sedari kecil ia hidup pas-pasan. Sepulang sekolah, ia menggembala kambing untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikannya. (Blurb)

Alasan utama saya membeli buku ini pada saat harbolnas kemaren adalah karena tertarik dengan karya-karyanya Khrisna Pabichara, setelah sebelumnya membaca buku beliau yang berjudul Sepatu Dahlan. Sayangnya, hanya buku ini yang tersisa saat saya ketik nama penulis di kolom pencarian. Sebenarnya ingin punya buku-bukunya yang lain. Jujur saja, karya beliau yang pertama kali saya baca berhasil membuat jatuh hati karenanya.

Seperti pada kisah Sepatu Dahlan, buku ini juga diilhami dari kisah nyata. Tentang seorang penggembala kambing yang berhasil menjadi orang sukses dimasa mendatang. Kelihaian penulis memainkan kata-kata membuat saya semakin candu untuk terus membaca. Buku ini adalah salah satu dari dua buku yang saya beli tanpa membaca sinopsis. Dan hasilnya sangat memuaskan.

Ibrahim dibesarkan dengan penuh kasih sayang meski oleh ibu tiri. Baginya, cerita tentang kekejaman ibu tiri hanya ada didongeng-dongeng belaka. Ibra, begitu panggilannya begitu dekat dengan sang ibu bahkan sampai urusan hati, tempat mengadu yang tepat baginya adalah ibu.

“Lelaki yang marah karena cintanya ditampik adalah lelaki yang tidak paham hakikat cinta. Lelaki seperti itu ‘mencintai dirinya sendiri’. Egois. Hanya perempuan lugu, kalau kata ‘dungu’ terlalu kasar, yang mau dicintai lelaki seperti itu” (hal 31).

Penolakan dari gadis pujaan, Salma, adalah awal dari semangat Ibra yang terus hidup. Ibra bertekad untuk masuk AMN (Angkatan Militer Negara). Meski bapak tidak menyetujui keinginannya, tidak serta merta membuat Ibra patah semangat. Baginya menjadi orang sukses adalah harga mati. Berkat bantuan sang adik yang menjualkan kambing-kambingnya juga yang berperan sebagai pemalsu tanda tangan ayahnya, Ibra berangkat menuju kota Makassar setelah meninggalkan sepucuk surat yang diletakkan begitu saja di kamar.

“Maafkan Leo,Pak. Maafkan Leo, Bu.
Pagi ini Leo sudah harus berangkat ke Makassar.
Leo harus ikut seleksi kesamaptaan.
Doakan Leo, Pak.
Bila tak wafat ditengah pendidikan.
Leo akan menjemput bapak dan ibu.
Empat tahun setelah hari ini.
Dariku, Leo”

Ayahnya membisu. Air mata ibunya terus mengalir, tanpa isak dan sedu sedan. Perkara ini akan mudah jika semalam bapak meneken surat perizinan itu. Ibra telah pergi.

Tekad Ibra untuk menjadi seorang AMN seperti direstui Tuhan. Ia melewati semua tahapan dengan nilai tertinggi. Ia dinyatakan lulus dan berangkat ke Ibukota untuk menjalani masa studi. Beberapa waktu berlalu, ada kerinduan yang selalu menyelusup sanubarinya tatkala libur tiba. Saat yang lain pulang ke kampung halaman, Ibra harus menikmati kesendirian di asrama. Ia kubur hasrat untuk pulang sampai nanti ia lulus melewati semua perjuangan seperti janji yang ia ikrarkan tempo lalu.

Buku ini secara umum baik dibaca siapa saja. Tidak hanya mengisahkan tentang perjuangan Ibra mencapai cita-citanya namun juga bagaimana dia memperoleh cintanya. Selain tidak membosankan di dalamnya juga terselip humor ringan yang lumayan mengocok perut. Jika diawal saya menyukai Tere Liye, sepertinya sekarang Khrisna Pabichara mampu mengungguli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar