Sabtu, 10 Februari 2018

Sebuah Kisah (2)

Dia balas menatap mataku yang sejak tadi memandanginya. Belum ada jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan. Entah apa maksud dari tatapan matanya. Tidak ada gerakan anggota tubuh yang lain. Hanya pandangan itu yang lurus menatapku tanpa kedipan.

“Kamu kenapa, Dek?”. Akhirnya suaraku normal kembali setelah berkecamuk dengan batin sejak mendengar penuturannya pertama kali.

“Aku ingin kamu bahagia, Mas”. Jawabnya singkat. Matanya mulai tampak kemerah-merahan seperti menahan tangis agar tidak luruh membasuh wajah cantiknya. Nyanyian yang tengah mengalun tidak lagi terasa enak didengar. Aku semakin bingung. Kurang bahagia apa aku selama ini. Dia bahkan teramat tahu bahwa aku begitu mencintainya.

“Kita makan dulu, yuk!”. Ajakku sekenanya sambil mengusap jemarinya yang sedang berada di samping piring berisi nasi goreng seafood kesukaannya. Dia mengikuti perintahku tanpa suara. Terlihat ada tetesan air yang jatuh dari mata bundarnya. Hati ini semakin tidak tega. Seketika dia menepis tanganku yang hendak kulayangkan untuk mengusap wajahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk. Ada apa sebenarnya dengan istriku.

Kami seperti saling tidak kenal. Satu meja tapi tanpa bicara. Pasangan lain yang berada di ruangan ini sungguh membuatku iri. Mereka begitu menikmati makan siang sambil sesekali mengumbar tawa. Keramaian cafe yang terletak tidak jauh dari pusat kota ini seperti tiada arti. Kupaksa menikmati kwetiau kali ini yang serasa seperti  mengkudu. Pahit.

Kugamit lagi tangan wanita cantik yang berada dihadapanku setelah dia menyelesaikan makan siangnya. Balutan jilbab hijau daun yang dikenakannya kali ini membuat jantung semakin berdebar tatkala mataku menyapu setiap jengkal wajahnya. Meski tersirat sendu yang sejak tadi tampak, sama sekali tidak mengurangi keelokan wajah itu. Tangannya kupegang erat, takut jika lagi-lagi dia berontak agar terlepas dari genggamanku. Jujur aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba berubah dingin semenjak kepulanganku dari dinas luar kota beberapa waktu yang lalu.

“Pertanyaan Mas tolong dijawab ya, Sayang. Kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Bukankah kamu tahu Mas-mu ini begitu mencintai kamu sejak dulu. Sampai pada detik ini perasaan itu tidak pernah berkurang walau seinci. Dan Mas juga tahu kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama dengan Mas. Jadi tolong jangan bikin Mas jadi lemah jantung seperti ini”. Aku memulai percakapan setelah dia pasrah jemariku  menggamit erat tangannya.

Dia menghela nafas panjang lalu berkata, “ceraikan aku, Mas”. Tangisnya pecah meski tanpa suara. Demi mendengar kalimat itu dan melihat ekspresi wajahnya, aku bergegas berdiri dan menarik tangannya agar mengikutiku keluar.

“Tolong Sayang jelaskan pada Mas, apa salah Mas-mu ini?”. Ucapku sambil setengah teriak. Aku semakin kalut. Suasana hati yang kupikir sudah membaik saat makan siang selesai, ternyata semakin keruh. Dia hanya diam lantas menatapku tajam. “Aku mencintaimu, Mas. Sungguh”. Jawabnya sambil memegang tanganku disertai tetesan air mata yang mengenai ibu jariku.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar