Dia balas menatap mataku yang
sejak tadi memandanginya. Belum ada jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan.
Entah apa maksud dari tatapan matanya. Tidak ada gerakan anggota tubuh yang
lain. Hanya pandangan itu yang lurus menatapku tanpa kedipan.
“Kamu kenapa, Dek?”. Akhirnya suaraku
normal kembali setelah berkecamuk dengan batin sejak mendengar penuturannya
pertama kali.
“Aku ingin kamu bahagia, Mas”. Jawabnya singkat. Matanya mulai tampak kemerah-merahan seperti menahan tangis
agar tidak luruh membasuh wajah cantiknya. Nyanyian yang tengah mengalun tidak
lagi terasa enak didengar. Aku semakin bingung. Kurang bahagia apa aku selama ini. Dia bahkan teramat tahu bahwa aku
begitu mencintainya.
“Kita makan dulu, yuk!”. Ajakku
sekenanya sambil mengusap jemarinya yang sedang berada di samping piring berisi
nasi goreng seafood kesukaannya. Dia mengikuti perintahku tanpa suara. Terlihat
ada tetesan air yang jatuh dari mata bundarnya. Hati ini semakin tidak tega.
Seketika dia menepis tanganku yang hendak kulayangkan untuk mengusap wajahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk. Ada apa
sebenarnya dengan istriku.
Kami seperti saling tidak kenal.
Satu meja tapi tanpa bicara. Pasangan lain yang berada di ruangan ini sungguh membuatku iri. Mereka begitu menikmati makan siang sambil sesekali mengumbar tawa.
Keramaian cafe yang terletak tidak jauh dari pusat kota ini seperti tiada arti.
Kupaksa menikmati kwetiau kali ini yang serasa seperti mengkudu. Pahit.
Kugamit lagi tangan wanita cantik
yang berada dihadapanku setelah dia menyelesaikan makan siangnya. Balutan jilbab
hijau daun yang dikenakannya kali ini membuat jantung semakin berdebar tatkala
mataku menyapu setiap jengkal wajahnya. Meski tersirat sendu yang sejak tadi
tampak, sama sekali tidak mengurangi keelokan wajah itu. Tangannya kupegang
erat, takut jika lagi-lagi dia berontak agar terlepas dari genggamanku. Jujur aku
sama sekali tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba berubah dingin semenjak
kepulanganku dari dinas luar kota beberapa waktu yang lalu.
“Pertanyaan Mas tolong dijawab
ya, Sayang. Kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Bukankah kamu tahu Mas-mu
ini begitu mencintai kamu sejak dulu. Sampai pada detik ini perasaan itu tidak
pernah berkurang walau seinci. Dan Mas juga tahu kalau kamu juga memiliki
perasaan yang sama dengan Mas. Jadi tolong jangan bikin Mas jadi lemah jantung
seperti ini”. Aku memulai percakapan setelah dia pasrah jemariku menggamit erat tangannya.
Dia menghela nafas panjang lalu
berkata, “ceraikan aku, Mas”. Tangisnya pecah meski tanpa suara. Demi mendengar
kalimat itu dan melihat ekspresi wajahnya, aku bergegas berdiri dan menarik tangannya agar mengikutiku
keluar.
“Tolong Sayang jelaskan pada Mas,
apa salah Mas-mu ini?”. Ucapku sambil setengah teriak. Aku semakin kalut. Suasana
hati yang kupikir sudah membaik saat makan siang selesai, ternyata semakin
keruh. Dia hanya diam lantas menatapku tajam. “Aku mencintaimu, Mas. Sungguh”. Jawabnya sambil memegang tanganku disertai
tetesan air mata yang mengenai ibu jariku.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar