Kamis, 08 Februari 2018

Resensi Sabtu Bersama Bapak

Judul : Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 278 halaman

Bayangkan perpaduan sebuah buku parenting di mix kan dengan buku humor-galau-jomblo maka jadilah buku renyah tipis yang satu ini. “Sabtu bersama Bapak”. Awalnya iseng aja pengen liat-liat buku ini, tertarik saat melirik kumpulan buku di lemari teman kamar sebelah. Sampai pada akhirnya gak sabaran untuk ikut bertualang bersama lantunan kalimat demi kalimat yang lumayan mengocok perut. Adhitya Mulya, begitu lihai mengemas tiap kekatanya dalam novel ini, meski kita sedang berada di “bab” parenting sama sekali tak akan terasa membosankan dan kaku.

Sabtu Bersama Bapak, mengisahkan tentang dua kakak beradik yang terpaut usia 3 tahun, Satya dan Cakra. Mereka ditinggal pergi sang bapak di usia yang masih terbilang belia. Bapak mengidap penyakit kanker dan divonis hanya punya waktu satu tahun lagi untuk hidup. Meski takdir ini terasa begitu berat namun bapak mempersiapkan segalanya dengan matang. Hanya dengan satu harapan, ia ingin terus membersamai anak dan istrinya meski raga tak lagi ada disisi mereka. Maka, bapak mengabadikan dirinya lewat video-video yang direkam di kaset handycam. Melalui video itu, bapak menitipkan beragam pesan sepanjang pengalaman hidupnya, banyaakk... semua di ulas sang bapak sedetail mungkin seperti pentingnya IPK di atas 3, perencanaan masa pranikah, pentingnya membahagiakan istri (itu aja sih yng di ingat :D). Satya dan Cakra kemudian tumbuh tanpa merasa kehilangan figur sang ayah, karena setiap sabtu bapak mereka selalu ada dengan nasihat dan pituah-pituahnya.

Satya dan Cakra tumbuh menjadi pemuda cerdas dan sukses. Sama-sama sukses di karir namun tidak dengan urusan percintaan. Satya berhasil menikahi wanita idamannya dan mempunyai anak tiga dari hasil pernikahannya namun Cakra masih setia menjomblo. Satya belajar menjadi seorang bapak yang baik, tuntutan kerja terkadang kerap membuatnya melampiaskan segala sesuatunya dirumah. Hingga sang istri mengirim email agar tidak pulang dulu, karena takut dengan psikologisnya anak-anaknya. Di lain sisi, Cakra dengan umur yang telah berkepala tiga, masih adem saja meski berkali-kali sang ibu berusaha mencarikan calon minantu. Kerap di bully, tidak hanya dirumah bahkan oleh bawahan di kantor.  

Pagi, Pak
Pagi, Firman
Pak, mau ngingatin dua hal saja. Bapak ada induksi untuk pukul 9 nanti di ruang meeting
Oh, iya. Thanks. Satu lagi apa?
Mau ngingatin aja, Bapak masih jomblo (Hal.43)

Selang-seling cerita Satya dan Cakra di buku ini. Disaat Cakra sibuk mencari jodoh, karena sadar akan fitrah yang selama ini di abaikan. Sementara Satya disibukkan dengan pembelajaran tentang peran ayah dan suami yang baik bagi ketiga anaknya. Rutinitas kerja dan tuntutan yang mesti diemban, membuatnya harus terpisah fisik dengan keluarganya namun akhirnya juga secara mental. Satya mendaur ulang semua sikapnya dari pesan-pesan sang bapak yang telah lama tak dicernanya.

Terlepas dari pesan-pesan bapak yang berhasil mengantarkan kedua lelaki ini menjadi mandiri, sukses dan mapan di usia muda. Ada peran lain yang tak kalah hebat, yaitu didikan sang ibu. Deskripsi kisah dibuku ini terasa begitu nyata dan dekat dalam keseharian. Buku yang patut dibaca oleh Ayah, Ibu dan calon ayah/ibu juga bagi para jomblo agar tak putus asa saat jodoh masih entah dimana. Kita bisa belajar parenting dari kisah Satya dibuku ini, setelah sebelumnya di buat ngakak oleh kisah si jomblo Cakra yang mengenaskan. Sebuah buku yang unik, asyik dan inspiratif. Tentang Cakra, endingnya sarat dengan kejutan.

2 komentar: