Minggu, 04 Februari 2018

Masih Ada Harapan

“Assalamualaikum, ini dengan Bundanya Isra?”

“Wa’alaikumussalam, iya saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ini dari wali kelasnya Isra, Bu. Kami meminta Ibu untuk datang ke sekolah, besok pagi jam 10.00. Terima Kasih, Ibu. Assalamualaikum”

“Insya Allah, Bu. Wa’alaikumussalam”. Bu Aina menghela nafas panjang disusul bunyi sambungan telepon diputus dari seberang.

Bu Aina, seorang single parent yang membesarkan anak semata wayangnya, Isra, seorang diri. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu, dalam sebuah kecelakaan naas ketika mereka dalam sebuah perjalanan menuju kediaman orang tua Bu Aina. Takdir merenggut kebahagiaan mereka dalam waktu yang begitu singkat. Peristiwa itu meninggalkan bekas yang dalam buat Isra. Umurnya memang telah menginjak remaja, tapi mengikhlaskan kepergian seorang Ayah yang teramat dicintai adalah perkara yang maha berat. Seiring pertambahan usia Isra tumbuh semakin tidak terkontrol.

Dalam rentang waktu enam bulan sudah delapan kali Bu Aina dipanggil ke sekolah. Kali ini beliau harus menemui Kepala Sekolah karena Isra kabur setelah menghajar tiga orang siswa dari sekolah lain. Urusan ini semakin pelik karena salah satu dari mereka harus menjalani operasi di mata akibat pukulan benda tumpul yang mengenai matanya. Kepala Sekolah menyerah dengan ulah Isra yang makin menjadi dari waktu ke waktu. Hari itu juga Isra resmi dikeluarkan dari sekolah. Bu Aina pulang dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Air matanya terus mengalir mengairi wajahnya yang semakin tirus dimakan zaman. Bukan karena Isra di drop out dari sekolahnya tapi karena ia merasa telah gagal mendidik anak semata wayangnya. Di bus saat perjalanan pulang, ia buka tas cokelat lusuh tua pemberian mendiang suaminya, disana berisi sebuah buku catatan harian, yang selalu dibawa kemana ia pergi. Buku itu merepresentasikan semua perasaan Bu Aina, tentang kesedihan, kekecewaan dan kegagalan-kegagalannya selama ini.

“Hari ini adalah hari terberat pasca kepergianmu, Yah. Untuk siapa aku berjuang selama ini? Kataku, untuk anak kita. Banting tulang dari pagi ke petang, mengabaikan pesan keluarga yang terus memotivasiku untuk menerima pinangan dari laki-laki lain. Sepintas lalu ingin sekali menerima tawaran itu. Berbagi pundak atas cobaan yang terus datang silih berganti. Tapi tidak ku lakukan karena Isra tidak butuh ayah yang lain. Aku sungguh teramat menyayanginya, dia satu-satunya alasanku untuk tetap tegar setelah kepergianmu. Aku yakin Israku anak yang baik, dia tak sekalipun membentak ketika kunasehati. Tapi mendapati kenyataan dia semakin liar di luar, sungguh membuatku hancur. Aku merasa gagal menjadi orang tua. Kekhawatiranku semakin menjadi tatkala Kepala Sekolah melepaskan tanggung jawab untuknya. Tak sanggup kubayangkan, kelak ketika aku sudah...”. Kalimat yang ditulis Bu Aina terhenti bersamaan dengan teriakan yang menyayat hati.

Dengan kondisi setengah sadar, Bu Aina memaksa dirinya -yang masih dipasangi oksigen dan beberapa kabel- untuk bangun. Tubuhnya ditahan oleh seorang remaja tanggung yang menunggu disebelahnya, sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia lupa kenapa bisa berada di ruangan serba putih ini. Diliriknya remaja tanggung itu. Pikirannya berkelebat ke suatu masa dipuluhan tahun lalu, seorang bocah yang masih belum fasih berjalan, memaksa untuk bermain layang-layang. Dengan anggukan kecil dari si ayah, akhirnya bocah itu pun berhasil menerbangkan layang-layangnya. Ayah selalu punya cara menuruti kemauan anaknya. Kali itu si anak menarik tali layang-layang dalam gendongan si ayah.

Lamunan Bu Aina terhenti saat mendapati anak itu menangis tersedu-sedu sambil menciumi tangannya berkali-kali. Catatan hariannya entah kenapa bisa berpindah tangan ke anaknya. Ingin sekali ia bicara, tapi lidahnya kelu. Ia ingat pasti sebelum berada di ruangan yang beraroma obat ini, ia berada di ruangan kepala sekolah. Dengan anggukan sebisanya, Bu Aina meyakinkan diri bahwa anak itu pasti akan berubah. Digenggam balik tangan bocah itu. Mata mereka saling bertatapan, ada bulir-bulir bening yang siap jatuh di mata keduanya. Masih ada harapan, begitu sekiranya makna dari kedipan mata Bu Aina disusul dengan air mata yang jatuh perlahan.

2 komentar:

  1. Sedih Kakak... T_T (pada kompakan buat cerpen sedih ya?)
    Oh iya, di awal namanya Bu Aini kak, juga ada beberapa typo. #maafmasihajacerewetya
    Teruslah menulis kak Dika, karena karyamu sungguh indah ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hhe.. iya baaru nyadar
      makasih koreksinya kak, tulisanku belum apa-apa dibandingkan punyamu kak..
      semangat menulis :D

      Hapus