“Assalamualaikum, ini dengan
Bundanya Isra?”
“Wa’alaikumussalam, iya saya
sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini dari wali kelasnya Isra, Bu.
Kami meminta Ibu untuk datang ke sekolah,
besok pagi jam 10.00. Terima Kasih, Ibu. Assalamualaikum”
“Insya Allah, Bu.
Wa’alaikumussalam”. Bu Aina menghela nafas panjang disusul bunyi sambungan
telepon diputus dari seberang.
Bu Aina, seorang single parent
yang membesarkan anak semata wayangnya, Isra, seorang diri. Suaminya meninggal
dua tahun yang lalu, dalam sebuah kecelakaan naas ketika mereka dalam sebuah
perjalanan menuju kediaman orang tua Bu Aina. Takdir merenggut kebahagiaan
mereka dalam waktu yang begitu singkat. Peristiwa itu meninggalkan bekas yang
dalam buat Isra. Umurnya memang telah menginjak remaja, tapi mengikhlaskan
kepergian seorang Ayah yang teramat dicintai adalah perkara yang maha berat.
Seiring pertambahan usia Isra tumbuh semakin tidak terkontrol.
Dalam rentang waktu enam bulan
sudah delapan kali Bu Aina dipanggil ke sekolah. Kali ini beliau harus menemui
Kepala Sekolah karena Isra kabur setelah menghajar tiga orang siswa dari
sekolah lain. Urusan ini semakin pelik karena salah satu dari mereka harus
menjalani operasi di mata akibat
pukulan benda tumpul yang mengenai matanya. Kepala Sekolah menyerah dengan ulah
Isra yang makin menjadi dari waktu ke waktu. Hari itu juga Isra resmi
dikeluarkan dari sekolah. Bu Aina pulang dengan perasaan yang tidak bisa
digambarkan. Air matanya terus mengalir mengairi wajahnya yang semakin tirus
dimakan zaman. Bukan karena Isra di drop
out dari sekolahnya tapi karena ia merasa telah gagal mendidik anak semata
wayangnya. Di bus saat perjalanan pulang, ia buka tas cokelat lusuh tua
pemberian mendiang suaminya, disana berisi sebuah buku catatan harian, yang
selalu dibawa kemana ia pergi. Buku itu merepresentasikan semua perasaan Bu
Aina, tentang kesedihan, kekecewaan dan kegagalan-kegagalannya selama ini.
“Hari ini adalah hari terberat pasca kepergianmu, Yah. Untuk siapa aku
berjuang selama ini? Kataku, untuk anak kita. Banting tulang dari pagi ke
petang, mengabaikan pesan keluarga yang terus memotivasiku untuk menerima
pinangan dari laki-laki lain. Sepintas lalu ingin sekali menerima tawaran itu.
Berbagi pundak atas cobaan yang terus datang silih berganti. Tapi tidak ku
lakukan karena Isra tidak butuh ayah yang lain. Aku sungguh teramat menyayanginya,
dia satu-satunya alasanku untuk tetap tegar setelah kepergianmu. Aku yakin
Israku anak yang baik, dia tak sekalipun membentak ketika kunasehati. Tapi
mendapati kenyataan dia semakin liar di luar, sungguh membuatku hancur. Aku merasa
gagal menjadi orang tua. Kekhawatiranku semakin menjadi tatkala Kepala Sekolah
melepaskan tanggung jawab untuknya. Tak sanggup kubayangkan, kelak ketika aku
sudah...”. Kalimat yang ditulis Bu Aina terhenti bersamaan dengan teriakan
yang menyayat hati.
Dengan kondisi setengah sadar, Bu
Aina memaksa dirinya -yang masih dipasangi oksigen dan beberapa kabel- untuk
bangun. Tubuhnya ditahan oleh seorang remaja tanggung yang menunggu
disebelahnya, sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia lupa kenapa bisa berada di
ruangan serba putih ini. Diliriknya remaja tanggung itu. Pikirannya berkelebat
ke suatu masa dipuluhan tahun lalu, seorang bocah yang masih belum fasih
berjalan, memaksa untuk bermain layang-layang.
Dengan anggukan kecil dari si ayah, akhirnya bocah itu pun berhasil menerbangkan
layang-layangnya. Ayah selalu punya cara menuruti kemauan anaknya. Kali itu si
anak menarik tali layang-layang dalam gendongan si ayah.
Lamunan Bu Aina terhenti saat
mendapati anak itu menangis tersedu-sedu sambil menciumi tangannya berkali-kali.
Catatan hariannya entah kenapa bisa berpindah tangan ke anaknya. Ingin sekali
ia bicara, tapi lidahnya kelu. Ia ingat pasti sebelum berada di ruangan yang
beraroma obat ini, ia berada di ruangan kepala sekolah. Dengan anggukan
sebisanya, Bu Aina meyakinkan diri bahwa anak itu pasti akan berubah. Digenggam
balik tangan bocah itu. Mata mereka saling bertatapan, ada bulir-bulir bening
yang siap jatuh di mata keduanya. Masih ada harapan, begitu sekiranya makna
dari kedipan mata Bu Aina disusul dengan air mata yang jatuh perlahan.
Sedih Kakak... T_T (pada kompakan buat cerpen sedih ya?)
BalasHapusOh iya, di awal namanya Bu Aini kak, juga ada beberapa typo. #maafmasihajacerewetya
Teruslah menulis kak Dika, karena karyamu sungguh indah ^_^
Hhe.. iya baaru nyadar
Hapusmakasih koreksinya kak, tulisanku belum apa-apa dibandingkan punyamu kak..
semangat menulis :D